Rabu 19 Jun 2019 07:50 WIB

Kuliner Arab Klasik tak Sebatas Domba, tapi Juga Sea Food

Masyarakat Arab klasik juga menyukai santapan sea food.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Nasi Kebuli
Foto: Antara
Nasi Kebuli

REPUBLIKA.CO.ID,  Sebagai tempat mula-mula perkembangan Islam, Jazirah Arab menyimpan khazanah kuliner yang kaya. Sheilah Kaufman dalam “Saudi Arabian Cuisine and Culture” membagi perkembangan sejarah cita rasa Arab ke dalam tiga masa, yakni zaman antik, abad pertengahan, dan era modern.

Zaman antik didefinisikannya sebagai kurun waktu sejak lima ribu tahun silam. Menurutnya, masyarakat setempat sudah piawai dalam perkebunan dan peternakan di sekitar oasis pada masa tersebut. Bagi yang hidup nomaden, mereka cenderung mengandalkan beras, kurma, dan daging domba yang dibawa ke mana pun berkelana. Bahan-bahan itu bila diolah bisa menjadi macam-macam sajian, semisal Nasi Kabsah.

Baca Juga

Selain faktor geografis, ada pula kultur sosial yang melatari berbagai hidangan khas Arab. Untuk diketahui, sejak ratusan tahun silam orang-orang Arab sudah aktif berdagang dengan bangsa-bangsa lain di penjuru dunia, terutama melalui jalur maritim. Interaksi dengan banyak kebudayaan memunculkan inovasi dalam bidang kuliner mereka. 

Kaufman mencontohkan, dinamika yang terjadi sejak zaman antik menghadirkan variasi Nasi Kabsah, termasuk dalam soal bumbu, jenis nasi dan daging, tidak harus domba, tetapi juga ayam, sapi, atau ikan. Belakangan, kuliner itu menginspirasi lahirnya menu baru di berbagai negeri, seperti Nasi Paella di Spanyol atau Nasi Biryani di India.

Persinggungan antara Arab dan budaya-budaya lain sangat mungkin terjadi jauh sebelum kedatangan Islam. Sebab, pada zaman klasik para pelaut Arab sudah biasa mengarungi Samudra Hindia untuk berdagang menuju dan dari Cina, Nusantara, India, Afrika dan Eropa. Dua kota utama, Makkah dan Madinah, sudah lama menjadi bandar perdagangan yang strategis yang di dalamnya orang-orang mendapatkan pasokan rempah-rempah. 

“Buah emas” itu sebelumnya berlabuh di Muskat atau Yaman, untuk kemudian melewati rute Arab Selatan, Ctesiphon (antara Sungai Eufrat dan Tigris di Irak), hingga ke Yerusalem dan Kairo. Rute tadi dinamakan pula sebagai Jalur Kemenyan (the Frankincense Trail). Alasannnya, tentu lantaran kemenyan dan juga rempah-rempah lain marak diperdagangkan di sana.

Jangan bayangkan Arab hanya tentang padang pasir dan wahah. Laut Merah yang memisahkannya dengan Afrika mengandung berbagai jenis ikan yang enak dan bergizi, terutama untuk sajian makanan laut (sea food). Tidak sedikit orang Arab secara turun-temurun berprofesi sebagai nelayan di pesisir sana. Mereka mengembangkan tradisi kuliner yang mengandalkan hasil laut, semisal lobster, kepiting, udang, ikan tuna, ikan kerapu, dan bahkan ikan hiu. 

Bahan-bahan itu diolah dengan bumbu-bumbu yang khas, lantas disajikan bersama dengan nasi atau kurma. Sajian itu tidak hanya dinikmati bersama keluarga, tetapi juga dijual kepada pelanggan. Bahkan sampai hari ini, banyak kedai atau restoran yang sengaja dibuat menghadap pantai Laut Merah, semisal di Jeddah, Arab Saudi, untuk memanjakan mata para penikmat sea food.

 

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement