REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibadah haji merupakan perintah Allah SWT yang wajib dikerjakan oleh setiap umat Islam, khususnya bagi yang mampu (istithoah) untuk pergi ke Baitullah (Kabah) di Tanah Suci (Makkah). Hal ini telah ditegaskan Allah SWT dalam Alquran (QS Ali Imran [3]: 97).
Para ulama sepakat bahwa makna istithoah tersebut adalah mampu biaya, fisik, keamanan, dan transportasi. Namun demikian, sebagian ulama seperti Imam Al-Ghazali menyatakan, istithoah tersebut meliputi kemampuan memahami makna manasik haji. Setiap calon jamaah haji hendaknya memahami tata cara beribadah haji dengan baik dan benar. Mulai dari memakai pakaian ihram, niat haji dan umrah, tawaf (mengelilingi Kabah), sa'i (lari-lari kecil dari bukit Shofa ke bukit Marwah), wukuf (berhenti) di Arafah untuk mendengarkan Khutbah Arafah, melontar jumrah, mabit (bermalam di Mina dan Muzdalifah), tahallul (memotong sebagian rambut), dan lainnya.
Dengan mengetahui dan memahami prosesi dan tata cara beribadah haji dengan baik dan benar, jamaah tidak memiliki ketergantungan atau bergantung pada pembimbing ibadah haji. Selanjutnya, diharapkan jamaah akan mendapatkan predikat haji mabrur (diterima oleh Allah SWT). Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga.” (HR. Bukhari-Muslim).
Tentu saja, kerugian besarlah bagi mereka yang mengerjakan haji, namun tidak mendapatkan predikat haji mabrur. Al-Ghazali dalam magnum opus-nya Ihya 'Ulumuddin, menyebutkan, mereka yang mengerjakan haji, namun tidak memahami maksud dan makna yang terkandung dalam setiap prosesi ibadah haji adalah orang yang teperdaya, tertipu (ghurur).
Sekali Berhaji
Dengan jaminan balasan yang besar itu, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia datang berbondong-bondong ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. (QS Al-Hajj: 27).
Rasul SAW bersabda; Di antara umrah yang satu ke umrah lainnya adalah penghapus dosa. Dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.”
Dalam hadis lain Rasul bersabda: (Haji) yang pertama itu hukumnya wajib, sedangkan yang kedua, ketiga, dan selanjutnya (lebih dari sekali, pen) adalah sunah.” (HR Ahmad).
Karena alasan inilah, banyak umat Islam yang ingin setiap tahun bisa mengerjakan haji ke Tanah Suci. Mereka akan senantiasa mencari modal untuk pergi haji dan mengulanginya lagi di waktu lain.
Namun, bila dilihat dari sisi mashalah, tentu membantu fakir miskin lebih utama dibandingkan dengan berhaji lagi. Yang wajib lebih utama dibandingkan yang sunah.