REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Majelis Ulama Indonesia meminta semua penceramah Muslim maupun non-Muslim harus mematuhi kode etik saat menyampaikan ceramah atau ajaran agama.
Pernyataan ini disampaikan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, menanggapi polemik penolakan Ustaz Firanda Andirja Abidin oleh umat Islam di Aceh, beberapa waktu lalu.
Dia juga mengingatkan agar setiap pendai wajib menyampaikan ajaran yang benar dan tidak mengada-ada. “Semua penceramah entah itu Islam atau bukan, pasti punya kode etik dan sesuai kebenaran. Kalau dia menyampaikan hal bohong, ya hukuman yang pasti dia terima adalah hukuman dari Tuhan. Tapi, kalau dia menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan hukum negara, ya, negara yang akan menindak,” ujar Anwar Abbas saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/6).
“Oleh Karena itu, setiap penceramah yang berbicara harus memperhatikan rambu-rambu yang diatur dalam agama ataupun negara,” kata dia.
Dia menyebutkan, berdasarkan definisi Islam wasathiyah menurut MUI, terdapat 10 karakter dasar dalam berdakwah, yakni tawasuth (mengambil jalan tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), i’tidal (lurus dan tegas), musawah (egaliter non-diskriminasi), syura (musyawarah), awlawiyah (mendahulukan yang prioritas), islah (reformasi), tahaddhur (berkeadaban), dan tathawur wal ibtikar (dinamis, kreatif dan inovatif).
“Itulah yang diinginkan oleh MUI tentang penerapan Islam wasathiyah,” kata Abbas sembari menambahkan bahwa Islam inilah yang akan membawa manfaat dan rahmat bagi seluruh alam. Ajaran ini juga yang sesuai dengan Alquran dan sunah.