REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) 'Aisyiyah Rita Pranawati menegaskan, praktik kawin kontrak kerap memosisikan perempuan sebagai pihak yang bersalah, meski bisa saja yang terjadi sesungguhnya tidak demikian.
"Viktimisasi (kriminalisasi) pada perempuan masih saja terjadi. Juga stereotyping kepada perempuan yang selalu dianggap sumber masalah," kata Rita saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (18/6).
Pernyataan itu menanggapi masih maraknya kawin kontrak yang memosisikan perempuan sebagai pihak yang bersalah.
Dalam proses kawin kontrak, para pelakunya adalah laki-laki dan perempuan. Namun, lanjut dia, yang sering dianggap menjadi sumber persoalan adalah perempuan saja. Jika laki-laki menghargai perempuan, maka sesungguhnya tidak akan terjadi kawin kontrak.
"Perempuan itu bukan makhluk yang semua haknya tergantung laki-laki, tetapi dia juga bisa menentukan nasibnya sendiri. Laki-laki sebagai pasangan harus saling mendukung, sehingga dapat membawa keberkahan bagi semua," kata dia.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu menekankan, kawin kontrak tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga buah hati.
Anak-anak, kata dia, tidak mengenal istilah mantan bapak atau mantan ibu. Sebab, sampai kapanpun dan bagaimanapun nasib perkawinan kedua orang tuanya, status hubungan orang tua dan anak selalu melekat.
"Hak-hak anak akan banyak terabaikan jika orang tuanya menikah kontrak. Karena orang tua hanya mengejar relasi dalam jangka waktu tertentu. Orang tua harus berpikir nasib anak dan tidak hanya mengejar kesenangan semata," papar dia.