REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam nongkrong, ada dakwah. Dari Abu Sa'id al-Khudriy RA bahwasanya Nabi SAW bersabda, "Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir-pinggir) jalan!" Lalu, mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Kami tidak punya (pilihan) tempat duduk-duduk untuk berbicara (di sana)." Beliau bersabda, "Bila tidak bisa kalian hindari selain harus duduk-duduk (di situ) maka berilah jalan tersebut haknya!" Mereka berkata, "Apa hak jalan itu, wahai Rasulullah?" beliau bersabda, "Memicingkan pandangan, mencegah (adanya) gangguan, menjawab salam, serta mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran." (HR Muttafaqun 'alaihi).
Syekh Nashir asy-Syimaliy menerangkan tentang kaidah indah hadis di atas. Islam sejatinya membawa etika dalam ajarannya. Di dalamnya terdapat pelajaran besar meskipun terkesan membahas hal yang amat remeh, duduk-duduk.
Kaidah pertama, usahakan agar jalan tidak digunakan untuk duduk-duduk. Jalan harusnya difungsikan sebagaimana keperluannya, sebagai sarana orang untuk berlalu lalang. Kita diajarkan untuk menempatkan hak sesuai tempatnya, tidak menggunakan fasilitas umum untuk hal-hal yang merugikan kepentingan umum sendiri. Ini kaidah dasarnya.
Kita memiliki pekerjaan rumah yang amat besar soal ini. Fasilitas umum di negeri ini tak pernah berteman mesra dengan kata awet. Hak-hak orang lain tercerabut karena kenakalan sejumlah orang.
Syekh Nashir menjelaskan, soal jalan dan tempat-tempat umum adalah bukan untuk dijadikan tempat duduk-duduk. Beberapa dampak yang bisa timbul dari kelakuan ini adalah bisa menimbulkan fitnah, mengganggu orang lain, baik dengan cacian, kerlingan, ataupun julukan. Bisa juga muncul kelakuan mengintip urusan pribadi orang lain serta membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Namun, jika memang tidak ada lagi tempat, tak ada lagi ruang, ada konsekuensi dari duduk-duduk itu. Tak sekadar duduk-duduk ngobrol sana-sini penuh gosip. Pertama, berikan jalan haknya. Apa saja hak dari jalan?
Dengan amat lugas, Rasulullah SAW menjelaskan, memicingkan pandangan. Syekh Nashir menjelaskan, memicingkan mata adalah mengekangnya dari melihat hal yang haram.
Sebab, jalan juga digunakan oleh kaum wanita untuk lewat dan memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata dari hal-hal yang diharamkan termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap situasi dan kondisi. Allah berfirman, "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'" (QS an-Nuar [24]:30).
Kedua, mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil, seperti menyakitinya dengan ucapan yang tak layak; cacian, makian, gibah, ejekan, dan sindiran. Bentuk lainnya adalah gangguan yang berupa pandangan ke arah bagian dalam rumah orang lain tanpa seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan tersebut adalah gangguan fisik, menyakiti pengguna jalan, dan sebagainya.
Ketiga, menjawab salam. Para ulama secara ijmak menyepakati wajibnya menjawab salam. Allah SWT berfirman, "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)." (QS an-Nisa' [4]: 86). Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa hukum memulai salam adalah sunah dan pelakunya diganjar pahala.
Keempat, melakukan amar makruf nahi mungkar. Jalan adalah tempat beragam orang melintas. Jika terjadi sebuah kemungkaran maka orang yang duduk-duduk di sekitar jalan tersebut harusnya terdepan mencegah tindakan tersebut.
Tak hanya mencegah kemungkaran, tapi juga mengajak kebaikan. Dalam duduk-duduk, ada dakwah. Dalam nongkrong ada kebajikan.
Kewajiban amar makruf nahi munkar ini termaktub dalam firman Allah SWT, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar…" (QS Ali Imran [3]: 104).
Islam ingin memastikan umatnya selalu dalam kebaikan dalam kondisi apa pun, termasuk saat berkumpul dengan sejawat, duduk-duduk membicarakan banyak hal. Pastikan, duduk-duduk kita bermanfaat. Tentu, bagi diri dan orang lain. Duduk-duduk dan berdakwahlah.