REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahmud Yunus
Surah al-Fatihah itu sangat istimewa. Sejumlah ahli tafsir sampai-sampai harus menjelaskan surah itu dalam beratus-ratus halaman kitab. Ibnu al-Qayyim, misalnya, menafsirkan ayat ke-5 surah al-Fatihah menjadi sebuah kitab yang lumayan tebal berjudul "Madariju as-Salikin".
Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla RA, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Surah yang paling mulia dalam Alquran adalah surah al-Fatihah” (HR Bukhari). Surah Al-Fatihah memiliki derajat lebih tinggi dibanding surah-surah lainnya. Surah ini disebut sebagai pembuka al-Kitab (fatihatu al-kitab), induk Alquran (ummu al-Quran), tujuh ayat yang selalu dibaca dalam setiap rakaat shalat (as-sab’u al-matsani), dan lainnya.
Ibnu Abbas RA berkata, suatu ketika pintu langit terbuka. Lalu turunlah malaikat menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Kabarkanlah kepada umatmu tentang dua cahaya. Sungguh, kedua cahaya itu hanya diberikan kepadamu, tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelummu, yaitu fatihatu al-kitab dan beberapa ayat terakhir surah al-Baqarah" (HR Muslim dan Nasa’i).
Pada surah al-Fatihah, khususnya pada ayat terakhir yakni ayat ke-7 Allah menggolongkan manusia menjadi tiga golongan. Pertama, orang-orang yang diberi nikmat (alladzina an’amta ‘alaihim). Kedua, orang-orang yang dimurkai (al-maghdub), Ketiga, orang-orang yang sesat (al-dhallin). Siapa mereka itu?
Orang-orang yang diberi nikmat atau anugerah oleh Allah adalah para nabi, orang-orang yang membenarkan syariat Islam (shiddiqin), dan orang-orang yang shalih (shalihin) yang terdiri atas orang-orang terdahulu. Kisah-kisah mereka tersebut diberitahukan kepada kita dalam Alquran, baik secara umum maupun secara khusus.
Tujuan utamanya agar kita meneladani jejak langkah mereka. Karena pada hakikatnya, agama Allah itu hanya satu. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud,” (QS an-Nisa [4] : 163).
Orang-orang yang dimurkai oleh Allah adalah orang-orang yang telah menerima atau (telah) mendengar agama yang benar (al-din al-haq) dan disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, mereka menolak dan menjauhkan diri tanpa mau menoleh sedikit pun.
Mereka pada umumnya tidak mau menggunakan akalnya untuk mengkaji dalil-dalil yang ada. Mereka lebih suka mengikuti tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka (taqlid). Sebagai risikonya mereka akan ditimpa kesusahan dan kehinaan di dalam Jahanam.
Orang-orang yang sesat adalah mereka yang tidak mengetahui kebenaran sama sekali. Mereka tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, mereka memang tidak pernah kedatangan seorang Rasul pun. Atau, mungkin pernah kedatangan seorang rasul, tapi nilai-nilai kebenaran tidak jelas atau kurang jelas bagi mereka.
Bila demikian, sesungguhnya mereka itu tidak terbebani syariat karena belum mukallaf. Dan, di akhirat mereka tidak akan disiksa. Allah berfirman, “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab (mereka) sebelum Kami mengutus seorang Rasul,” (QS al-Isra [17] : 15).
Dari semuanya itu yang dijamin keselamatannya di akhirat hanya satu golongan yaitu yang mendapat nikmat atau anugerah dari Allah. Wallahu a’lam.