REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemiskinan merupakan salah satu problematika yang menjangkiti umat. Rendahnya taraf perekonomian nyatanya juga dialami oleh masyarakat Muslim pada masa awal. Persoalan inipun menjadi perhatian serius. Islam memerangi kemiskinan.
Tidak hanya miskin sebagai akibat, tetapi memberantas pula faktor penyebab kemiskinan, yaitu kebodohan, pola pikir, dan semangat hidup yang salah. Dalam tataran praktis, upaya pemberatasan kemiskinan muncul dari berbagai kalangan sepanjang sejarah.
Usaha itu datang dari berbagai elemen masyarakat, tak terkecuali negara seba gai pemegang otoritas. Para ulama pun tampil memberikan sumbangsih pemikiran dan aksi nyata mengatasi kemiskinan.
Sebut saja Imam Ghazali. Ia menawarkan beberapa gagasan penting menyangkut pengentasan kemiskinan. Hal pertama yang ia tekankan adalah pemetaan kantong-kantong kemiskinan. Pengentasan kemiskinan bisa ditempuh, salah satunya melalui teori pendapatan dengan optimalisasi kesejahteran sosial.
Segala bentuk kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah atau lembaga negara harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Pemikirannya itu tertuang apik dalam bukunya yang berjudul al-Tabr al-Masbuk fi Nashihat al-Mulk.
Selain al-Ghazali, sejumlah nama cendekiawan juga berupaya untuk menguak solusi-solusi tepat mengatasi kemiskinan. Sebut saja, Ibnu Taghribirdi dengan bukunya berjudul al-Nujum al-Zahira fi Muluk Mishr wa ala Qahira dan al-Maqrizi dalam buku al- Mawa’iz wa al I’tibar fi Dzikr al-Khitat wa al-Athar.”
Sumbangsih pemikiran ini menginspirasi pemerintah untuk memaksimalkan kinerja mereka. Menurut Tamim Ansyari dalam Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, negara memfasilitasi lembaga wakaf untuk pemberdayaan masyarakat miskin.
Selama periode Dinasti Abbasiyah, pemerintah mendorong laju pergerakan ekonomi di berbagai bidang. Perekonomian kala itu pun melesat. Negara berupaya keras agar kesejahteraan penduduk ter dongkrak. Dari segi perdagangan, industri, dan per tanian, ekonomi Muslim menggeliat. Kebijakan-ke bijakan prorakyat juga ditelorkan. Kondisi ini berjalan hingga pemerintah Dinasti Mamluk (1250-1517 M).
Sebuah buku karya Adam Sabra yang berjudul Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt mengungkapkan bagaimana dinamika penye lesaian kemiskinan pada era Mamluk. Pemerintah langsung turun tangan mengentaskan kemiskinan. Ini membantu optimalisasi program-program, baik yang dijalankan oleh negara maupun badan-badan wakaf. Pegawai negeri memiliki kewajiban menghimpun dana zakat, infak, wakaf, dan se de kah selain pekerjaan utama mereka, yaitu mengumpulkan pajak.
Sinergi positif terjalin positif antara pemerintah dan lembaga-lembaga nirlaba. Ini memaksimalkan program-program yang ada. Misalnya saja, para pengemis, anak jalanan, dan tunawisma mendapat jaminan hidup di panti-panti sosial. Program pelunasan utang juga digelar.