REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahmad bin Abdullah al-Qalqasyandi dalam karya monumental terakhirnya yang berjudul Maatsir al-Inafah Fi Maalim al-Khilafah menjabarkan masalah dokumentasi (kearsipan). Menurutnya, instrumen terpenting dalam pemerintahan adalah dokumentasi dan administrasi yang berkaitan dengan segala lini pemerintahan.
Dokumentasi surat tersebut biasanya ditulis khalifah kepada khalifah berikutnya ataupun surat yang ditujukan kepada raja dan pimpinan suatu negara, khususnya dalam urusan mencatat perjanjian ('ahd) yang terjadi antara kedua belah pihak, terutama perjanjian yang menyatakan serah terima jabatan antara khalifah ke khalifah berikutnya.
Misalnya, pernyataan nota kesepakatan yang pernah ditulis saat Abu Bakar as-Shiddiq menyerahkan estafet kekhilafahan kepada Umar bin Khattab. Perjanjian tersebut ditulis langsung oleh Usman bin Affan.
Tatkala menuliskan perjanjian tertentu, ada dua aliran dan corak yang kerap digunakan sebagai acuan seorang sekretaris (katib). Aliran pertama, yaitu redaksi yang ada pada paragraf pertama perjanjian. Itu ditulis dengan menyebutkan objek perjanjian yang dimaksudkan.
Sebagi contoh, menggunakan redaksi. Perjanjian ini ditulis si A dan diperuntukkan si B. Kemudian, dalam perjanjian tersebut dipaparkan tentang dasar dan alasan penunjukan yang bersangkutan sebagai khalifah.
Disertai ungkapan yang menyatakan serah terima tampuk kepemimpinan. Redaksi perjanjian itu juga menyertakan seruan untuk menaati khalifah terpilih.
Bentuk penulisan kategori ini pernah dipakai oleh para khalifah terdahulu. Sebagian sekretaris terkemuka di Irak dan Mesir mempertahankan corak tersebut. Acuan yang dijadikan sebagai landasan corak ini adalah nota kesepakatan antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Di antara khalifah yang pernah mencatat perjanjian menggunakan pola pertama adalah Sulaiman bin Abd al-Malik bin Marwan, salah seorang khalifah Dinasti Umayyah, sebagaimana terdapat dalam perjanjiannya dengan Umar bin Abd al-Aziz dan Yazid bin Abd al-Malik. Selain Khalifah Sulaiman, terdapat pula al-Makmun yang mencatat perjanjian untuk Ali bin Musa al-Alawi.
Tak jauh berbeda dengan pola sebelumnya, pada corak kedua penulisan nota kesepakatan adalah dengan mencantumkan kalimat hamdalah (pujian) pada paragraf pembuka, sekalipun kalimat hamdalah tidak dikutip secara lengkap.
Pola ini menjadi tren semasa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Misalnya, surat perjanjian yang ditulis al-Mustakfi Billah Abi ar-Rabi' Sulaiman untuk sang anak, al-Mustawtsiq Billah.