REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmun Nawawi
Amr bin Qais mengisahkan, ketika Luqman al-Hakim sedang mengajar murid-muridnya, maka muncul orang yang berjalan melewati majelis pengajiannya.
Dengan nada heran orang tersebut bertanya kepada Luqman, ''Bukankah engkau hamba sahaya dari Bani Fulan?''
Luqman menjawab, ''Betul.''
Ia bertanya kembali, ''Bukankah engkau si penggembala yang kulihat di Gunung Fulan?''
Luqman menjawab, ''Benar.''
Dengan penuh heran orang tersebut bertanya lagi, ''Lalu, apa yang membuatmu berubah dan menjadi seperti ini?''
Luqman menjawab, ''Berkata jujur dan selalu diam dari hal-hal yang tidak berguna.''
***
Kemampuan berbicara memang merupakan anugerah besar, sehingga manusia bisa mengutarakan seluruh isi hatinya atau menyuarakan gagasannya kepada orang lain. Bahkan, banyak profesi yang digeluti manusia karena kepiawaian dalam berbicara dan berkata-kata. Dalam filsafat eksistensialisme dikatakan: Anda ada bila Anda berbicara. Tapi, seperti pisau yang bermata dua, kata-kata yang meluncur dari mulut manusia bisa menjadi pemanis bagi penuturnya, namun tak urung juga bisa menjadi bumerang dan aib bagi pengucapnya.
Mengapa demikian, karena pembicaraan juga merupakan bagian dari perilaku manusia secara keseluruhan yang akan menjadi catatan amal bagi dirinya. Bahkan, bagi seorang pemimpin, integritas kepribadiannya juga seringkali disorot dari sejauh mana bobot kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Melalui narasi di atas, Luqman, seorang yang bijak bestari, mengajari kita tentang etika berbicara, yaitu berkata jujur atau diam jika pembicaraannya tidak bermakna. Ini senapas dengan ajaran Rasulullah SAW, ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam.'' (muttafaqun 'alaih).
Dengan akhlaknya itulah Luqman mampu melakukan mobilitas sosial, yakni dari seorang budak dan penggembala menjadi seorang pendidik (ulama).
Karena itu, prinsip ''asbun'' (asal bunyi) tidak memperoleh tempat dalam akhlak Islam. Seorang ulama Sahl at-Tustari mengingatkan, ''Siapa yang terjebak untuk berbicara mengenai hal-hal yang tidak berguna, niscaya kehilangan kejujuran.''
Adz-Dzhahabi, dalam bukunya Siyaru A'lamin-Nubala menuturkan, Ketika seorang sahabat Nabi (Abu Dujanah Sammak) sakit, para sahabat dan kaum kerabatnya ramai menjenguk.
Mereka merasa heran ketika melihat wajah sahabat yang sakit tersebut begitu ceria, lalu mereka bertanya mengenai sebab keceriaannya.
Ia menjawab, ''Ada dua amalan yang benar-benar kuyakini pahalanya sangat besar, yaitu aku tidak pernah berbicara mengenai hal-hal yang tidak berguna, dan hatiku bersih dari segala perasaan kotor terhadap sesama kaum Muslim.''