REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Betapa tinggi kedudukan ahli ilmu atau ulama. Allah SWT dalam surah az-Zumar ayat kesembilan berfirman. Artinya, “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui daripada orang-orang yang tidak mengetahui?’” Dalam surah an-Nahl ayat 43, Allah menegaskan, “fas`alu ahla adz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun.” Artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Ya, ulama adalah tempat bertanya. Kepadanya, umat meminta nasihat dan pencerahan.
Seorang alim menjadi mulia dengan ilmunya. Karena itu, hendaknya ilmu dicari dan diamalkan dengan tujuan yang tertinggi, yakni mengharap ridha Allah Ta’ala. Bukan sanjungan manusia.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah, atau bukan dalam rangka mengharapkan wajah Allah, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduk di dalam api neraka.”
Seorang ulama pada hakikatnya sedang mengemban amanah dari Allah. Karena itu, tidak ada jalan menuntut dan mengamalkan ilmu selain yang sesuai perintah-Nya. Ilmu pun harus dijaga agar tidak jatuh ke dalam kehinaan duniawi.
Merujuk kitab Tadzkiratus Saami’ karya Imam Badruddin Ibnu Jama’ah, seorang ulama tidak boleh merendahkan ilmu. Misalnya dengan sering pergi ke tempat “orang yang tidak berhak”.
Siapa itu? Para pencinta dunia. Ulama tak boleh mendatanginya kecuali sungguh-sungguh ada keperluan yang mendesak dalam perkara keumatan atau tegaknya agama.
Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Hinanya ilmu ketika seorang alim membawanya ke rumah orang belajar.”
Kisah Imam Bukhari dan Sufyan ats-Tsauri
Terkait ini, kisah Imam Bukhari dapat menjadi pelajaran. Suatu kali, penguasa setempat mengutus seseorang untuk memanggil pakar hadis sahih tersebut. Pesannya, “Ajari aku kitab-kitabmu, aku ingin mendengar langsung darimu.”
Imam Bukhari berkata kepada utusan itu, “Katakan kepadanya, aku tidak ingin menghina ilmu. Aku tidak akan mendatangi pintu penguasa. Bila dia memerlukan penjelasan dari kitab, maka dia hendaknya mendatangi masjid atau rumahku.”
Ya, para ulama zaman dahulu sangat komitmen menjaga kemuliaan ilmu. Mereka merasa selalu diawasi Allah (muroqobah).
Suatu kali, Sufyan ats-Tsauri menerima kabar dari keluarganya di Kufah (Irak). Penduduk di sana ternyata sedang terkena wabah gagal panen, sehingga sering kelaparan.
Seseorang kemudian berkata kepada ulama abad kedelapan itu, “Wahai Sufyan, alangkah baiknya bila engkau mendatangi penguasa agar dia membantumu mengatasi persoalan ini.”
“Demi Allah, aku tidak meminta urusan dunia kepada Zat yang memilikinya (Allah). Bagaimana mungkin aku meminta urusan dunia kepada yang tidak memiliki dunia?” jawab Sufyan ats-Tsauri tegas.
Adab Mendatangi
Bila seorang alim tidak mendatangi ulama, maka jelaslah Islam mengajarkan adab yang utama.
Sudah seharusnya, penguasa-lah yang mendatangi ulama atau majelis-majelis ilmu.
Dalam hadis riwayat Dailami, dari Umar bin Khaththab, Nabi SAW bersabda, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang mendatangi ulama. Dia membenci jika ulama yang mendekati penguasa. Sebab, ketika ulama mendekati penguasa, maka yang diinginkannya urusan dunia. Bila penguasa yang mendekati ulama, maka yang diinginkannya urusan akhirat.”
Ulama dan umara. Dua peran yang sentral dalam menjadikan suatu negeri “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (QS. Saba: 15).
Karena itu, hendaknya seorang pemimpin menyadari posisinya di bawah ulama, sehingga mendatangi majelis-majelis ilmu dengan hati yang tunduk mengharap ampunan-Nya. Jangan ulama seperti diseret-seret ke dalam urusan duniawi, semisal kekuasaan.
Kemudian, seorang ulama pun dapat memberi nasihat yang jelas. Surah al-Baqarah ayat 42 menjadi panduannya: “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan batil (kemungkaran), dan kalian sembunyikan yang benar, padahal kalian mengetahuinya.”