REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, Rasulullah SAW pun memohon kepada Allah agar memberikan ketenteraman dan keberkahan atas kota tersebut dan penduduknya.
Penduduk Madinah terkenal ramah, berperangai halus, dan berakhlak mulia. Sejak kedatangan Islam ke kota itu, hubungan sosial masyarakat terjalin dengan semakin baik karena berdasarkan tuntunan Rasul SAW.
Corak kehidupan mereka pun jauh dari nuansa keras, berbeda dengan model kehidupan suku-suku Arab di sekitarnya.
Allah SWT menyebut Madinah dan penduduknya beberapa kali di dalam Alquran. Di antaranya surah at-Taubah ayat 101 dan 120; surah al-Ahzab dalam ayat 60; surah al-Hasyr ayat 9; dan surah al-Munafiqun ayat 8.
Madinah yang Ramah
Keramahan masyarakat Madinah dikenal di seantero dunia Islam. Inilah salah satu keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka.
Hati penduduk Madinah dibuka oleh Allah SWT untuk segera memeluk risalah Nabi SAW ketika mendengar keagungan Islam. Bahkan, itu semua dilakukan dengan pengorbanan darah, pikiran, harta, dan tenaga.
Mengapa penduduk Madinah punya karakteristik terbuka, sementara misalnya orang-orang Makkah kaku dan keras hati?
Muhammad Musthofa Mujahid punya penjelasan tentang hal ini. Dalam bukunya, Abqariatu ar-Rasul fi Iktisab al-'Uqul ('Rasulullah Sang Jenius'), ia mengungkapkan faktor utama pembentuk karakter penduduk Madinah, yakni profesi mereka sebagai petani.
Masyarakat petani terbiasa hidup dalam suasana tolong-menolong, baik dalam tingkat keluarga ataupun masyarakat. Kegiatan pertanian menuntut kerja sama antarindividu, terutama pada musim tanam dan panen.
Pada masa penantian panen pun, menurut Musthofa Mujahid, mereka mempunyai aktivitas lain, seperti menjaga tanaman, memerah susu, atau bersosialisasi dengan sesama petani.
Kondisi seperti ini membentuk karakter masyarakat Madinah yang terbuka, baik untuk berdialog ataupun kerja sama.
Keadaan sebaliknya terjadi pada masyarakat Makkah. Penduduk kota kelahiran Nabi SAW itu umumnya berprofesi sebagai pedagang.
Cara berpikir pedagang lebih bersifat transaksional. Berpedoman pada kalkulasi untung-rugi.
Oleh karena itu, mereka sulit diajak berdialog. Orang sehebat Umar bin Khaththab, misalnya, pun terheran-heran dengan keluwesan penduduk Madinah. Namun, ia segera menyadari bahwa watak mereka terbentuk karena pola kerja keseharian yang digeluti.