REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syarqawi Dhofir
Mencari dan menetapkan hari baik untuk melakukan sesuatu telah menjadi bagian tradisi masyarakat kita. Untuk sebuah hari yang baik itu, kadang-kadang perlu menunda pekerjaan baik, untuk selanjutnya menunggu berbulan-bulan lamanya.
Tradisi tersebut bukan semata milik masyarakat tradisional kita. Dalam suatu kondisi psikologis tertentu, kalangan terpelajar, akademis, pejabat, dan lain-lain yang sehari-hari apriori dengan hal-hal yang rasional mengamalkan tradisi itu juga.
Almarhum KH Ilyas Syarqawi, bapak dari para kyai dan pengasuh Pondok Pesantren An-Nuqoyah Guluk-guluk Sumenep Madura, misalnya. Suatu kali, dia kedatangan keponakannya untuk menanyai pendapat beliau tentang kapan sebaiknya berangkat mondok.
Beliau balik bertanya, ''Kamu sendiri merencanakan kapan berangkat?''
Sang ponakan menjawab hari Senin, tetapi ragu dan hendak berangkat hari Rabu atau Jumat. ''Hari Senin baik. Hari Rabu baik. Jumat juga baik,'' jawab KH Ilyas singkat. Sang ponakan, rupanya orang cerdik, sambil menyelidik kembali ia menyebut hari-hari lain dan menanyakan pendapat beliau kembali. ''Semua hari baik untuk berbuat kebaikan,'' jelas beliau.
Jawaban beliau tersebut termasuk sikap modern di zamannya. Lebih-lebih beliau menyatakannya di lingkungan masyarakat tradisional pada saat Indonesia baru merdeka. Sekali lagi membuktikan, betapa seorang kyai tradisional yang hidup di lingkungan kampung terpencil mampu menyikapi persoalan secara modern.
***
Ibnu Abbas, sepupu Rasulullah ketika ditanya tentang hari, bulan, dan pekerjaan yang terbaik, menjawab, ''Hari Jumat, bulan Ramadhan, dan shalat wajib lima waktu.''
Setelah tiga hari dari kematian Ibnu Abbas (meninggal dunia pada hari Jumat), jawaban Ibnu Abbas itu disampaikan kepada Ali bin Abi Tholib. Sahabat Rasulullah yang terkenal cerdas ini dan selalu didoakan (''semoga Allah memuliakan wajahnya'') berkomentar, ''Kalau saja para ulama, ahli fiqih dan ahli hikmah dari Timur hingga ke Barat ditanya tentang tiga hal tersebut niscaya mereka semua akan menjawab seperti yang dijawab oleh Ibnu Abbas itu.
Hanya saja saya berpendapat: pekerjaan yang terbaik itu adalah pekerjaanmu yang diterima oleh Allah. Bulan yang terbaik adalah bulan di mana kamu memulai taubat nashuha. Dan hari yang terbaik adalah hari di mana kamu keluar dari dunia ini menghadap Tuhanmu (mati) dalam keadaan beriman.''
Jawaban KH Ilyas dan Ali bin Abi Tholib itu memiliki satu visi yang sama bahwa hari yang baik adalah hari di mana kita melakukan kebaikan yang disukai oleh Allah. Karena itu, menunda hari untuk melakukan kebaikan hanya untuk mencari hari baik sama artinya dengan menyia-nyiakan hari baik yang ada di tangan untuk mencari hari gelap yang belum tentu baik. Padahal, siang dan malam setiap hari menuntut kita untuk selalu siap dengan pekerjaan baik.
Setiap detik memungkinkan ajal tiba, dan setiap detik pula menuntut kita berbuat baik agar kita bisa menemui ajal kita dalam keadaan iman. Seorang penyair dalam buku Bahrul Basith berkata sebagai berikut.
"Tidakkah kamu lihat, bagaimana siang dan malam menguji kita, sementara kita terus saja bermain terang-terangan maupun rahasia. Janganlah kamu memihak kepada dunia dan hiasannya, karena negeri dunia bukan negeri. Bekerjalah untuk dirimu sebelum mati, agar teman dan handai taulan yang banyak tak sempat menipumu."