REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekhalifahan Islam membangun dan memelihara saluran-saluran irigasi untuk pertanian. Air dari Sungai Eufrat dialirkan ke Mesopotamia (Irak), sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Dengan demikian, para petani bisa memperoleh air irigasi untuk lahan pertanian mereka.
Kekhalifahan Abbasiyah juga memelopori pengeringan rawa-rawa untuk lahan pertanian. Mereka juga memperbaiki ladang yang mengering. Tak heran jika kemudian Irak dikenal sebagai daerah pertanian dan perkebunan terkemuka saat itu.
Irak pun dijuluki surga dunia. Kehadiran negeri-negeri Islam dengan sistem pertanian yang maju ini tak lepas dari kontribusi para pakar pertanian Muslim. Mereka kemudian menuliskan pengetahuan mereka dalam buku-buku tentang pertanian yang menjadi referensi para petani dalam bercocok tanam.
Riyad al-Din al-Ghazzi al-Amiri, ahli pertanian dari Damaskus, Suriah, menulis buku pertanian yang membahas berbagai dengan sangat perinci. Mulai dari jenis lahan pertanian, cara memilih tanah yang baik, jenis-jenis pupuk, pembibitan, pencangkokan, penanaman, hingga pembuatan saluran irigasi. Ia juga menulis tentang budidaya tanaman biji-bijian, kacang-kacangan, umbi-umbian, sayuran, bunga, dan tanaman lainnya.
Ahli pertanian dari Andalusia, Abu’l Khair, menulis Kitab Al-Filaha. Dalam buku ini, ia menjelaskan empat cara menampung air hujan untuk keperluan pertanian dan cara membuat irigasi untuk pertanian. Secara khusus, ia menerangkan pula cara penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun. Abu’l Khair juga menjelaskan proses pembuatan gula.
Sementara ahli agronomi dari Andalusia, Al-Tignari, menulis buku tentang tanam–tanaman yang mampu memberi keuntungan besar bagi usaha pertanian, misalnya tebu dan kapas.