REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saat itu siang hari di Wunsdorf, sebuah kota kecil di selatan Berlin. Musim dingin membuat kota ini nampak kering. Lampu-lampu pun sudah menyala di kamp pengungsian di sana.
Sebuah regu penolong yang semuanya orang Jerman telah mengawasi fasilitas di sana sejak Februari ketika kamp mulai beroperasi. Kamp ini tampak seperti sebuah kampus, lengkap dengan TK, rumah sakit, dan sekolah.
Keluarga-keluarga pengungsi tidur di gedung utama yang pernah jadi pusat adminis trasi pemerintah. Sementara, para lajang dan anak-anak muda tidur di kontainer di luar gedung, dua tiga orang dalam tiap kamar.
Juru bicara otoritas setempat Wolfgang Brandt menyebut, dari beberapa negara termasuk Suriah, Irak, dan Iran. Kamp ini mampu menampung hingga 969 orang.
Seorang warga kamp, Mohammed al-Khayeri (bukan nama sebenarnya), belakangan ini lebih banyak menghabiskan waktu di gymnasium dalam gedung utama. Sejak datang ke Jerman pada September lalu, warga Irak berusia 23 tahun ini terus melatih otot-ototnya di sana.
"Saya agak gemuk. Saya ingin menguruskan perut buncit saya,'' kata Al-Khayeri sambil tersenyum lebar, seperti dilansir laman Aljazirah, belum lama ini.
Mengenakan kaus hitam dan celana abu-abu, Al-Khayeri mengingat kembali bagaimana ia akhirnya harus meninggalkan keluarganya pada 2014 untuk menghindari ISIS.
Menempuh jalur melalui Turki dan Teluk Balkan, Al-Khayeri menghabiskan 3.200 dolar AS untuk bisa masuk ke Finlandia. Namun, permohonan suakanya di Finlandia ditolak. Kemudian, Al-Khayeri bergerak ke Jerman.
Al-Khayeri hanya punya sedikit informasi tentang Jerman. Ia hanya tahu Kanselir Angela Merkel dengan tangan terbuka menerima para pengungsi saat negara lain justru menutup pintu. Cuma itu yang Al-Khayeri tahu.
Jerman kini jadi rumah sejuta pengungsi. Sebagian besar mereka datang tahun lalu sebagai bagian eksodus ke Eropa akibat konflik di Suriah dan Irak.
Dalam perjalanan ke Eropa, Al-Khayeri dan 100 pemuda lainnya kadang harus tidur di hutan atau berhadapan dengan para pencuri. "Saya bisa saja mati hari itu, atau esok harinya,'' kata Al-Khayeri mengenang masa sulit itu.