Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Treveller dan Penulis Buku
Senin kemain, 30 April, lima ratus dua puluh tujuh tahun lalu, secara resmi Isabel dan Ferdinand memberikan restu pada Christopher Columbus untuk memulai ekspedisi pelayarannya.
Sekaligus memberikan kesanggupan untuk mengongkosinya dalam mencari dunia baru dengan misi gold, glory, dan gospel. Mencari kekayaan, kemahsyuran, dan menyebarkan agama.
Pelayarannya sendiri baru dimulai bulan Agustus di tahun yang sama, dan selesai setahun kemudian. Dengan membawa hasil, emas, budak, dan nama baik yang terus didengungkan selama berabad-abad sebagai: Penemu benua Amerika.
Benarkah Colombus penemu benua Amerika?
Teori ini sudah disanggah banyak pihak dengan serangkaian bukti yang tak terbantahkan secara ilmiah.
Tak kurang, Presiden Turki Recep Tayyip Erdorgan saat berbicara dalam Istanbul Summit yang dihadiri pemimpin Muslim dari Amerika Latin mengungkapkan, Muslim telah menginjakkan kaki di benua tersebut pada abad ke-12.
Tiga abad sebelum kapal Santa Maria, Nina, dan Pinta berhasil menyentuh pantai Bahama, Amerika pada 12 Oktober 1492. Dan melanjutkan perjalannya ke Kuba sebulan kemudian.
Seperti dikutip dari Al Jazeera, Erdogan juga mengungkapkan, “Columbus menyebutkan adanya sebuah masjid di sebuah bukit di Pantai Kuba. Ankara tengah menyiapkan rencana untuk membangun masjid yang menandakan kehadiran penjelajah Muslim penemu benua Amerika.”
Tak hanya Erdogan yang menyanggah pendapat Colombus sebagai penemu benua Amerika. Seorang sejarawan kenamaan sekaligus professor riset di Johns Hopkins University, Baltimore, Maryland, USA, bernama S Frederick Starr, menuliskan teorinya dalam sebuah artikel yang dimuat laman History Today (12/12/2013).
Menurutnya, seorang cendekiawan Muslim bernama Abu ar-Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni atau yang lebih dikenal dengan nama al-Biruni yang pertama kali secara resmi menunjukkan adanya daratan lain di samudera lepas antara Eropa dan Asia. Dataran itulah yang kini dikenal sebagai benua Amerika.
Hipotesis tentang keberadaan benua Amerika ini dikenal Barat dengan nama Codex Masudicus, yang ditulisnya pada 1037, saat usia 70 tahun. Al-Biruni lahir di kota Bairun yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan ini menguasai beragam disiplin ilmu. Antara lain, matematika, astronomi, mineralogi, geografi, kartografi, geometri, dan trigonometri.
Dengan beragam ilmu yang dikuasainya, terciptalah teori tentang benua baru itu. Meski secara fisik ia tak pernah menjejakkan kakinya di sana, karena usianya yang sudah uzur, namun pendapatnya itu menginspirasi para penjelajah Muslim untuk menemukannya.
Tercatat, pada pertengahan abad ke-10, di masa pemerintahan Abdul Rahman III (929-961) dari Daulah Ummayah Andalusia, para penjelajah Muslim telah berlayar dari Pelabuhan Spanyol Delba (Palos) ke suatu tempat yang dinamai “laut yang gelap dan berkabut”. Lokasi itu sama dengan posisi benua Amerika saat ini
Catatan itu ditulis oleh sejarawan Muslim sekaligus ahli geografi ternama, Abul-Hassan Ali Ibnu Al Hussain-Al Masudi (871-957) dalam kitabnya “Muruj adz-dhahab wa maadin aljawhar -Padang Emas dan Tambang Permata-“.
Disebutkan seorang navigator Muslim bernama Khashkhash bin Said bin Aswad, dari Cordoba, Spanyol, berlayar dari Delba (Palos) pada 889. Para penjelajah Muslim ini menyeberangi samudera Atlantik, mencapai wilayah yang tidak dikenal (ard majhoola) dan kembali dengan harta yang luar biasa.
Selain itu, ada juga catatan yang berasal dari Cina kuno yang dikenal sebagai dokumen Sung. Dituliskan tentang perjalanan pelaut Muslim ke tanah yang dikenal sebagai Mu-Lan-Pi (Amerika).
Fakta-fakta ini kemudian dirangkum oleh Dr. Youssef Mroueh dalam tulisannya yang berjudul “Precolumbian Muslims in America”. Menurutnya, para penjelajah Muslim telah tiba di Amerika sekurang-kurangnya lima abad sebelum Colombus.
Bukti-bukti tak terbantahkan ditemukan dalam surat-surat yang ditulis Colombus sendiri. Ia menyebutkan, pada 21 Oktober 1492 saat berlayar di sekitar Gibara, pesisir timur laut Kuba, ia menyaksikan sebuah masjid yang berdiri kokoh di atas gunung yang indah.
Ia juga menemukan reruntuhan menara masjid dengan tulisan ayat-ayat Alquran di wilayah yang sekarang bernama Kuba, Meksiko, Texas, dan Nevada.
Jejak Islam di benua Amerika tak terbantahkan hingga kini. “Setidaknya, ada 484 nama desa, kota, gunung, danau, dan sungai di Amerika yang berakar dari Islam dan Arab,” ungkap Richard Brent Turner dalam buku “Islam in the African-American Experience”
Di antaranya kota-kota yang bernama Medina di Idaho. Hazen di North Dakota. Mahomet di Illinois. Arva di Ontario (Kanada).
Pun nama-nama suku Indian, banyak yang berjejak dari kata-kata bahasa Arab. Seperti suku Makkah di Washington, Anasazi, Apache, Arawak, Arikana, Chavin, Cherokee, Hohokam, Hupa, Hopi, Mahigan, Mohawk, Zulu, Zuni, dan lain-lain.
Fakta-fakta tentang suku Indian Muslim ini pun tak kalah banyaknya. Dari nama-nama orang, pakaian, serta adat kebiasaan. Nanti lain waktu saya tuliskan.
Garis merah yang secara tegas membedakan penjelajah Muslim dengan kolonial adalah keinginan untuk menguasai daerah yang “ditemukannya”.Secara rakus, kolonial akan mengeksplorasi habis sumber alam yang ada. Serta memperbudak rakyat jajahannya.
Sedang Islam datang dengan semangat membebaskan. Menghantarkan Cahaya Hidayah di wilayah yang masih diselimuti kebodohan, kejumudan, kejahiliyahan.
Sejarah dan peradaban Islam telah membuktikannya.
Tulisan ini telah dipublikasikan di www.uttiek.blogspot.com dan akun media sosial @uttiek_mpanjiastuti