Rabu 01 May 2019 08:29 WIB

Ini Tanggapan Muslimah Sri Lanka tentang Larangan Cadar

Pemerintah Sri Lanka melarang penggunaan cadar sepekan usai pengeboman

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Christiyaningsih
Seorang Muslim Sri Lanka dan putranya berjalan setelah dari pasar di Kolombo, Sri Lanka, Senin (29/4). Sri Lanka resmi melarang penggunaan cadar.
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Seorang Muslim Sri Lanka dan putranya berjalan setelah dari pasar di Kolombo, Sri Lanka, Senin (29/4). Sri Lanka resmi melarang penggunaan cadar.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pemerintah Sri Lanka telah menetapkan keputusan untuk melarang para wanita Muslim mengenakan niqab atau cadar. Kebijakan ini diputuskan sepekan setelah pengeboman yang menewaskan 250 lebih umat Kristiani pada Ahad Paskah(21/4) lalu. Keputusan ini juga mendapatkan banyak kecaman dari penggerak hak asasi manusia karena dianggap telah melanggar hak untuk mempraktikkan agama secara bebas.

Undang-undang yang mulai berlaku pada Senin (29/4) kemarin ini tidak secara khusus menyebutkan burqa, niqab, atau jilbab yang dikenakan oleh banyak wanita Muslim. Akan tetapi memiliki kata yang mengarah pada pelarangan penutup aurat Muslimah tersebut. Burqa adalah pakaian luar yang menutupi seluruh tubuh dan wajah, niqab adalah kerudung yang juga menutupi wajah, sementara jilbab hanya menutupi rambut.

Baca Juga

"Larangan itu untuk memastikan keamanan nasional. Tidak seorang pun harus mengaburkan wajah mereka dan membuat identifikasi menjadi sulit," kata Presiden Maithripala Sirisena, Ahad (28/4).

Meski sempat dikecam, namun kebanyakan Muslim Sri Lanka termasuk All Ceylon Jamiyyathul Ulama (ACJU) mendukung langkah itu dengan alasan keamanan.  ACJU adalah badan teratas cendekiawan Islam di negara pulau Asia Selatan itu. Kelompok itu sebelumnya telah mengeluarkan panduan yang meminta perempuan Muslim untuk tidak mengenakan cadar di depan umum.

"Kami telah meminta agar kami diberi waktu lebih lama dan apa pun kekhawatiran yang dimiliki kementerian - sehubungan dengan apa yang mungkin dalam norma-norma agama kami akan membimbing komunitas Muslim," kata Sheikh Arkam Nooramith dari ACJU kepada Aljazirah, Selasa (30/4).

Aljazirah telah berbicara kepada sejumlah orang Sri Lanka termasuk wanita Muslim tentang ketetapan baru itu. Qaanita Razeek, salah satu pendiri Soup Kitchen Sri Lanka mengatakan dapat memahami adanya banyak spekulasi tentang cadar yang dikenakannya. Tetapi wanita yang telah memutuskan mengenakan niqab sejak menginjak 16 tahun ini mengaku UU yang mengharuskan dia dan Muslimah lainnya untuk menanggalkan cadar dan niqab sama halnya dengan menanggalkan identitas yang selama ini dia bawa.

"Sementara saya mengerti bahwa ada perbedaan pendapat ilmiah tentang pemakaian cadar, saya membuat pilihan untuk mengenakan niqab 16 tahun yang lalu dan meminta saya untuk mengungkap sekarang seperti meminta untuk melepaskan identitas saya," kata Razeek.

Sedangkan Harshana Rajakaruna, anggota Parlemen dari Partai Persatuan Nasional yang cukup kuat di Sri Lanka, mengaku tidak keberatan dengan adanya UU mengenai larangan niqab dan cadar. "Kami tidak pernah memiliki budaya [kerudung muka] ini di Sri Lanka. Ini adalah sesuatu yang telah datang ke komunitas kami melalui pengaruh 10 hingga 15 tahun terakhir," kata dia.

Kalana Senaratne, dosen senior Departemen Hukum di Universitas Peradeniya, Sri Lanka mengatakan, pelarangan niqab dan cadar ini secara tidak langsung menandai perubahan masyarakat Sri Lanka menuju etos yang lebih sekuler. Jika pelarangan dimotivasi oleh kebencian, itu akan memiliki dampak yang sangat negatif terutama pada komunitas Muslim dalam jangka panjang, kata dia.

"Keamanan tidak dapat ditingkatkan hanya dengan melarang burqa atau niqab. Ini harus dikaitkan dengan tujuan yang lebih luas dari sekularisasi masyarakat Sri Lanka, yang pada gilirannya mengharuskan kelompok etnis dan agama lainnya termasuk mayoritas Buddha Sinhala, untuk memikirkan kembali dan mereformasi komunitas mereka sendiri dengan cara yang lebih progresif dan pluralis," ujar Senaratne.

Tehani Ariyaratne, seorang aktivis hak-hak perempuan mengungkapkan dengan tegas protesnya atas UU ini. Menurut dia, peraturan ini merupakan respons reaksional negara yang dirancang untuk mengalihkan perhatian dari kurangnya akuntabilitas negara atas peristiwa pengeboman yang menggemparkan Sri Lanka sepekan terakhir.

"Ini tidak bisa diterima. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak mereka untuk menjalankan agama mereka secara bebas, dan mereka harus menjadi pemangku kepentingan utama dalam diskusi ini, dan sekali lagi, wanita Muslim tersingkir dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sendiri," kata dia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement