REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Yasir Abdurrahman dalam bukunya yang berjudul Mausu’at al-Akhlaq wa az-Zuhd wa ar-Raqaiq mengutarakan bahwa sikap tidak enteng meminta-minta sekalipun tengah butuh merupakan salah satu bentuk akhlak yang mulia dalam Islam. Ini disebut dengan ta’affuf.
Ia pun lantas menjelaskan, terminologi ta’affuf dari segi bahasa. Menurutnya, ta’affuf berasal dari kata iffahyang bermakna menahan diri dari segala perkara yang haram. Iffah juga berarti kejernihan atau kesucian. Selaras dengan makna ini maka berdikari dengan tidak meminta-minta adalah definisi yang tepat untuk pemaknaan ta’affuf.
Syekh Yasir mengungkapkan, sikap berdikari dan mandiri tersebut memiliki banyak keutamaan. Allah SWT secara langsung memuji para hamba-Nya, terutama mereka yang fakir, tetapi di saat bersamaan mereka tetap terhormat, tidak meminta-minta.
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (QS al-Baqarah [2]: 273)
Dengan bersikap ta’affuf maka keberuntungan dan kebahagian akan datang. Penegasan ini disampaikan Rasulullah SAW di hadis Muslim. Rasul menyatakan, beruntunglah orang yang masuk Islam dan diberikan sikap tak meminta-minta, dan Allah akan cukupkan selalu rezeki yang telah ia peroleh.
Kebiasaan tidak meminta-minta dan tetap berdikari tersebut sangat ditekankan oleh Rasulullah. Ini seperti ditegaskan di riwayat Hakim bin Hizam yang disepakati oleh kebanyak imam hadis.
Dalam hadis tersebut, Rasul menyatakan, memberi lebih baik dari pada menerima atau meminta-minta. Dan barang siapa menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta, maka Allah SWT akan cukupkan hidupnya. Para sahabat juga mempraktikkan tuntunan ini sebagai jalan hidup mereka.
Abu Hurairah, misalnya. Sahabat yang terkenal dengan periwayatan hadis paling banyak itu pernah bertutur, dirinya tidak akan menolak pemberian hadiah. Tetapi, ia paling pantang jika harus meminta-minta atau bahkan menjilat.
Syekh Yasir menasihati para ulama agar bertata krama dengan sifat mulia ini. Karena, ia mengungkapkan, Ibnu Hajar al-Asqalani pernah menegaskan, ulama yang tidak berhias dengan sifat ini dan cenderung suka menjilat atau meminta-minta maka petaka yang akan ditimbulkan jauh lebih besar dari bahaya seorang yang bodoh.
Akan tetapi, ujar Syekh Yasir, bila pemberian tersebut datang secara cuma-cuma tanpa disertai dengan meminta-minta, terimalah. Ini seperti hadis Rasulullah SAW dari Bukhari bahwa harta yang didapat tanpa menjilat atau meminta-minta, hendaknya tidak ditolak.
Syekh Yasir pun berbagi kiat sederhana bagaimana agar tetap mandiri, berdikari, dan tidak enteng meminta. Tentu yang pertama ialah menekan syahwat dunia. Hasrat duniawi seseorang tidak akan puas. Bila terus dituruti maka tidak akan pernah bermuara. Syair berikut, menggambarkan bagaimana sepak terjang nafsu.
Dan barang siapa yang menyuapi nafsu segala apa yang diinginkan maka ia laksana memberi api yang berkobar dengan kayu kering nan banyak
Selanjutnya, kata Syekh Yasir, tetaplah ridha dan bersikap cukup atas pemberian dan rezeki Allah yang telah diberikan. Jangan pernah melihat nikmat Allah atas orang lain. Di hadis yang muttafaq alaih Rasul pernah mengingatkan, tali yang dipecutkan di atas punggung seseorang lebih baik ketimbang ia mendatangi koleganya lalu meminta-minta.
Dan, berusahalah tetap berdoa agar Allah memberikan petunjuk senantiasa mandiri dan berdikari. Rasul konon tak pernah melewatkan doa berikut. “Allahumma inni as’alukal al-afafa wal ghina (Ya Allah aku meminta kepada-Mu sikap terjaga dan kaya)”. Dan, tentunya, iringi doa tersebut dengan usaha nyata Anda. Karena, bagaimanapun kemandirian berusaha dan bekerja itu adalah sebaik-baik aktivitas. Ini seperti ditegaskan hadis Bukhari dari Rafi’ bin Khadij RA.