REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berwisata adalah sesuatu yang menyenangkan. Tamasya membantu menghilangkan kepenatan akibat beban kerja atau mengurangi dampak problematik hidup yang menimpa seseorang. Ada banyak manfaat berwisata. Wisata bagi para salaf juga memiliki kesan positif. Imam Syafi’i, misalnya.
Tokoh kelahiran Gaza, Palestina, itu mengatakan setidaknya ada lima faedah wisata, yaitu mengusir kesedihan, mencari nafkah, belajar, mendalami etika, dan bergaul dengan sahabat.
Ibnu Taimiyah pernah berujar, konspirasi pembunuhan baginya adalah tanda kesyahidan, penangkapan atas dirinya akan menambah kedekatan dengan-Nya, dan jika para musuh mengasingkannya ke suatu tempat maka sejatinya hal itu akan dimaknai sebagai tamasya oleh sosok yang hidup pada abad ke-8 Hijriah tersebut.
Potret di atas merupakan bukti bahwa Islam tidak antipariwisata. Bahkan, sejarah mencatat sejumlah nama pengembara Muslim yang berhasil mengelilingi dunia. Sebut saja Ibn Battutha dan Ibn Jabir. Karenanya, pada dasarnya pariwisata atau kegiatan bertamasya tidak diharamkan dalam Islam. Agama malah menyarankannya selama sesuai dengan koridor syariat.
Apa dan bagaimana Islam memandang wisata dan pariwisata? Prof Abd al-Hayy al-Farmawy dalam artikelnya yang berjudul “As-Siyahah fi al- Islam; Hukmuha, wa Fawaiduha, wa Dhawabithuha” mengemukakan hal-hal prinsip terkait dua hal yang hendak digalakkan oleh negara-negara Islam untuk meningkatkan perolehan devisa negara mereka.
Guru besar ilmu tafsir Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, lewat artikel yang disampaikan pada seminar tentang Islam dan pariwisata pada 2009 di Shanaa, Yaman itu, menjabarkan dukungan agama untuk pariwisata. Ia mengutip 14 ayat tentang ayat sentilan agar umat manusia melancong dan mentadaburi segala apa yang ia lihat dan rasakan selama perjalanan. Ini, tak lain agar keimanan mereka semakin bertambah.
Sebagai contoh, inilah ayat berikut, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat men dengar? Karena sesungguhnya bukan lah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS al-Hajj: 46).
Penegasan akan keberadaan seruan bepergian dan perenungan kebesaran- Nya itu, juga tertuang di tujuh ayat Alquran lainnya. Kali ini, dipertegas menggunakan kata perintah, berbeda dengan ke-14 ayat lainnya yang me makai bentuk sentilan. Sebut saja se bagai misal, ayat 137 surah Ali Imran. “Sesungguhnya telah berlalu sebe lum kamu sunah-sunah Allah; Karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasulrasul).”
Berangkat dari kenyataan ini lah, Farmawy menggariskan sejumlah tujuan utama pariwisata. Inti dari wisata itu, selain sekadar menyingkirkan kejenuhan dan kepenatan, sebetulnya ialah mengambil pelajaran dan hikmah dari peninggalan sejarah masa lalu atau merefleksikan berbagai fenomena keajaiban alam. Ini diharapkan akan bermuara pada menebalnya keimanan seseorang.
Tujuan wisata yang tak kalah penting, katanya, terutama di negara-negara Islam yang kaya akan warisan kejayaan peradaban tempo dulu ialah berdakwah kepada para turis. Ini bisa dilakukan dengan memperkenalkan sejarah dan nilai-nilai luhur di balik warisan sejarah tersebut. Peluang semacam ini ia sebut sebagai kesempatan emas. Saat tepat mengenalkan ke turis domestik ataupun mancanegara tentang Islam.
Inilah mengapa, katanya mengutip perkataan Kristolog Muslim tersohor asal Afrika Selatan, Ahmad Deedat, potensi Islamisasi luar biasa dimiliki oleh Mesir. Ini dilihat dari mem bludaknya wisatawan asing ke negeri piramida itu. Bila tiap warga Mesir memperkenalkan dan mendakwahkan Islam kepada para turis maka niscaya mayoritas penduduk dunia memeluk Islam dalam waktu yang singkat.
Jika tujuan nonfisik ini tercapai, secara otomotis peningkatan devisa meningkat. Pariwisata juga akan mendorong perubahan tingkat ekonomi masyarakat. Terlebih, industri pariwisata di banyak negara terbukti mampu membuka lapangan pekerjaan dengan melibatkan warga lokal ataupun para pendatang.
Ketentuan umum
Farmawy menjelaskan pula beberapa ketentuan dan etika umum dalam pariwasata. Bagi pemerintah dan pelaku industri pariwasata, ia menyarankan adanya cetak biru dalam pengelolaan wisata. Ini penting supaya potensi besar di balik pariwisata ter akomodasi dengan baik. Sebagai contoh, tidak memfasilitasi tindakan maksiat oleh para turis. seperti menyediakan minuman beralkohol.
Negara juga berkewajiban memberikan jaminan dan garansi keamanan un tuk wisatawan asing. Semangat ini sangat ditekankan oleh Islam, sebagaimana termaktub pada ayat ke enam surah at-Taubah. Sedangkan, ke tentuan yang khusus diperuntukkan bagi wisatawan Muslim, antara lain me nekankan niat tamasya yang ia lakukan dan menjaga etika-etika keislaman selama bertamasya, baik di daerah Muslim ataupun non-Muslim.