REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seseorang menemui Nabi Muhammad, hendak me nagih utang seekor unta. Ia datang sembari melontarkan kata-kata kasar. Kebetulan, saat itu sejumlah sahabat berada di sana. Mendengar perkataan si penagih utang, mereka tak terima dan berencana membalasnya. Namun, Muhammad SAW mencegah para sahabatnya berbuat demikian.
Beliau tak membalas perlakuan buruk terhadap dirinya dengan sikap yang sama. Sebaliknya, ia menunjukkan akhlak nya yang bagus. “Biarkanlah orang ini, sebab semua orang berhak bicara,” katanya mengenai tingkah si penagih utang kepada saha batnya. Ia meminta tolong sahabatnya, jika ada seekor unta yang umurnya sama dengan unta yang diutangnya maka diberikan kepada si pemberi utang itu.
Sayang, tak ada unta yang sebanding. Ada juga yang lebih besar. Rasulullah meminta kepada para sahabatnya untuk menyerahkan unta itu. Ia pun berkata, orang terbaik di antara manusia adalah mereka yang paling baik dalam mengembalikan utang. Riwayat lain menyebutkan, Umar bin Khattab ada di dekat Nabi ketika seorang datang menagih utang kepada Nabi dengan ucapan kasar. Umar tak kuasa menahan diri dan bermaksud menangkap orang itu.
Rasul mencegahnya serta memintanya sebaiknya mendorong dirinya segera mem bayar kan utang itu. Sebab, si pem beri utang tentu sedang sangat membutuhkan pelunasan dari orang yang berutang. Menurut Sopian Muham mad, sikap Nabi dalam istilah pakar psikologi, Daniel Goleman, disebut kecerdasan emosional.
Kecerdasan ini, papar dia, dalam bukunya Manajemen Cinta Sang Nabi dimaknai kemampuan konstruktif dalam merasakan, memahami, dan mengelola perasaan diri sendiri terhadap orang lain. Bukan hanya itu, kecerdasan ini menggambarkan serangkaian kemampuan, kompetensi, dan keterampilan nonkognitif yang memengaruhi seseorang berhasil menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Dalam pandangan cendekiawan Muslim, Amr Khaled, kecerdasan emosional ini merupakan etika dalam berhubungan dengan orang lain, pribadi yang sensitif, dan ketajaman jiwa. Melalui karya Buku Pintar Akhlak, ia mengatakan, kecerdasan ini penting dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Ketiadaan kecerdasan ini berdampak pada diri seseorang dan orang lain.
Dalam menjalin hubungan dengan orang tua, kecerdasan semacam ini perlu diperhatikan. Ia pun mengutip peristiwa di masa Nabi Muhammad. Kala itu, ada seorang sahabat yang sedang di ambang ajal. Namun, sahabat ini belum juga mampu mengucapkan kalimat syahadat. Melihat gelagat ini, Rasulullah mafhum dan cepat merespons.
Dia bertanya kepada sahabat-sahabatnya yang berada di sana, apakah orang yang berada di ambang kematian itu memiliki orang tua. Mereka menjawab, tinggal ibunya. Rasulullah bergegas menuju rumah sang ibu dan berhasil menemuinya. Langsung saja beliau bertanya mengenai putranya. Sang ibu menjawab bahwa anak lakilakinya itu adalah sosok yang saleh. Dia rajin beribadah.
Namun, jawaban itu tak memuaskan Rasul dan ia bertanya bagaimana hubungan pribadi dengan ibunya. Ibu itu terdiam beberapa saat dan menyampaikan kisahnya. Suatu hari anaknya itu membawa buah-buahan untuk anak dan istrinya, lalu menyembunyikan darinya. Rasul langsung paham. Si ibu berat hati untuk memaafkan anaknya akibat peristiwa itu.
Rasul bersama sahabatnya mengumpulkan kayu untuk membakar sahabatnya itu. Akhirnya, langkah itu berhasil membuat hati ibu tersebut luluh dan memaafkan anaknya. Tak lama berselang, sahabat yang semula sulit mengucapkan syahadat itu kemudian dengan mudah melafalkannya, mengiringi em busan napas terakhirnya.
Khaled mengingatkan, kecerdasan emosional pun mestinya mampu diterapkan di luar rumah dengan berperilaku baik terhadap orang lain. Saat ber kendara, misalnya, tak sedikit orang yang beradu membunyikan klakson sekeras-kerasnya, apalagi dalam kondisi macet. Mereka memuaskan keinginannya, lupa bahwa perbuatannya itu mengganggu orang lain.
Kerap kali pengendara mobil atau sepeda motor mempersempit celah jalan orang lain. Ia menghubungkan penjelasan yang ada di dalam surah al-Muja dilah ayat 11, agar orangorang beriman ketika diseru berlapang-lapang di majelis, mereka memberi kelapangan kepada orang lain.
Niscaya Allah akan memberikan kelapangan. Umar bin Khattab mengatakan, tiga hal yang membuat seseorang memperoleh simpati dari orang lain, di antaranya memberikan kelapangan kepada orang lain saat di majelis. Rasulullah memberikan teladan. Ketika beliau duduk di masjid, datang se orang Arab badui. Rasulullah menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang lebih luas pada orang itu.
Orang tersebut keheranan dan bertanya, mengapa Rasul bergeser padahal masjid saja tidak penuh. Rasul menjawab, “Sudah menjadi kewajiban setiap Muslim ketika melihat saudara seagamanya datang, ia ber geser untuk menyediakan tempat bagi saudaranya.” Khaled mengatakan, berlapanglapang bukan hanya di majelis, tetapi juga di jalanan. Jadi, sepatutnya tak mempersempit jalan yang akan dilalui oleh kendaraan orang lain.