REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak ada bulan yang demikian banyak mendapat sebutan kemuliaan seperti Ramadhan. Nabi sendiri menyebutnya sebagai bulan barakah, bulan pengampunan, bulan kebaikan, dan masih banyak sebutan lain lagi, yang mencerminkan nilai khusus spiritual dari bulan suci itu.
Pahala dan hukuman yang berkaitan dengan puasa demikian dipandang penting, sehingga Allah menyatakan Dia sendirilah yang akan melaksanakan pemberian pahala dan siksa itu. Ini tecermin dalam salah satu hadis Qudsi: Semua amal manusia itu adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan mengganjarnya.
Puasa sendiri akan menjadi sarana yang kuat untuk memerdekakan kita dari belenggu keinginan, hasrat, dan segala nafsu fisik yang negatif, dan membersihkan kita dari kekotoran dosa-dosa badani. Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al-Anshari, ''Jabir, ini adalah bulan Ramadhan.
Barangsiapa yang berpuasa di siang harinya dan tetap sadar serta ingat kepada Allah di malam harinya, menjaga perutnya dari apa yang diharamkan, dan menjaga kehormatannya dari kekotoran, serta menahan lidahnya, maka ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti lepasnya bulan Ramadhan dari dia.''
Jabir menjawab, ''Wahai Rasulullah, alangkah baiknya berita ini.'' Rasulullah melanjutkan, ''Tetapi, wahai Jabir, persyaratan-persyaratan puasa itu sangat berat.'' Banyak dokter yang memuji pengaruh puasa untuk meringankan sejumlah penyakit. Pendapat yang sama juga dilontarkan akhir-akhir ini oleh sejumlah ahli jiwa, karena puasa sebagai pengendalian diri dinilai mampu membebaskan manusia dari belenggu-belenggu ''kebiasaan'' yang dapat menghambat kejiwaannya.
Tetapi kalau orang yang berpuasa dari fajar hingga Magrib, kemudian sesudah itu dia hanyut dan tenggelam berpuas-puas dalam kesenangan, misalnya, makan dan minum semaunya, maka ia sendiri mungkin secara tidak sadar sudah mengalihkan tujuan puasa yang mulia itu. Kalau demikian yang terjadi, Tuhan jugalah yang menyaksikan bahwa puasanya bukan untuk membersihkan diri dan mempertinggi sifat kemanusiaannya.
Juga orang semacam ini bukan berpuasa atas kehendaknya sendiri karena percaya bahwa puasa itu memberi faedah ke dalam rohaninya, tapi ia berpuasa karena menunaikan suatu kewajiban dan melihatnya sebagai suatu kekangan atas kebebasannya. Dan begitu kebebasan itu berakhir pada malam hari, ia hanyut dalam kesenangan, sebagai ganti puasanya di siang hari.
Menurut Dr Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad, orang semacam itu sama seperti orang yang tidak mau mencuri karena undang-undang melarangnya. Bukan karena jiwanya sudah cukup tinggi untuk tidak melakukan perbuatan itu dan mencegahnya atas kemauan sendiri pula. Semoga kita jangan termasuk orang yang berpuasa seperti yang dikatakan Nabi, hanya sekadar menahan lapar dan haus.