REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan penuh kemuliaan itu akan tiba. Bulan yang menjadi waktu diturunkannya Alquran. Bulan yang memiliki sebuah rahasia malam lebih baik dari seribu bulan. Dialah Ramadhan. Pada bulan ini, Muslim diwajibkan untuk menjalankan puasa sebulan penuh.
Puasa sebenarnya adalah ibadah yang telah lama ada, bahkan sebelum Allah SWT menurunkan perintah tersebut. Puasa pun terjadi bukan hanya pada masa keislaman.
Kepala Lajnah Pentashihan Mus haf Al-Qur'an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Dr Muchlis M Hanafi, menyebut Bani Israil sebelumnya juga telah mengenal puasa. Hanya saja, puasa mereka berbeda dengan perintah puasa yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
"Dalam Alquran disebutkan, 'kutiba alaykum-ush shiyamu kamaa kutiba 'alalladziina min wablikum'. Ini artinya, 'Sebagaimana diwajibkan puasa atas orang-orang sebelum kamu'. Jadi, puasa ini sudah ada sebelumnya, hanya saja konteks, tata cara, bentuk, dan tujuannya berbeda," ujar Dr Muchlis kepada Republika, Rabu (10/4).
Contoh puasa yang dilakukan sebelum perintah ini turun, yakni puasa yang dilakukan orang Bani Israil. Sebelumnya, mereka melakukan puasa Assyura pada 10 Muharram. Puasa ini dilakukan sebagai ucapan syukur atas terbebasnya Nabi Musa dari kejaran Firaun. Selain itu, mereka juga melakukan puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulannya atau yang disebut puasa Ayyamul Bidh.
Perintah puasa turun setelah dua tahun Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, atau tahun kedua Hijriyah. Allah menurunkan perintah tentang puasa ini melalui QS al-Baqarah ayat 183 hingga 187.
Sebelumnya, pakar tafsir Alquran ini mengingatkan jika ajaran yang diterima oleh Nabi dibedakan dalam dua periode, yakni di Makkah dan di Madinah. Di Makkah, selama 13 tahun Nabi menerima soal pemantapan persoalan akidah, kenabian, dan kebangkitan. Syariat dan hukum baru turun pada saat di Madinah.
"Jadi, ditata dulu hatinya, kalau sudah tunduk, disuruh apa saja akan ikut. Maka, ketentuan syariat terkait hukum banyak turun di Madinah. Hukum-hukum ini terkait yang mengatur kehidupan sosial, masyarakat, dan ibadah, termasuk puasa," lanjutnya.
Muchlis menjelaskan, para sahabat menerima dengan baik. Saking percayanya pada Nabi dan kuatnya iman yang mereka miliki, setiap kali turun perintah dari Allah, mereka sudah tidak banyak bertanya dan langsung menuruti.
Menurut Muchlis, perintah berpuasa dalam Ramadhan memang menggunakan kata "shiyam" bukannya menggunakan kata "shaum". Muchlis menyebut, hal tersebut bukan suatu masalah. Secara bahasa, dua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu puasa. Namun, secara ilmu taf sir ada faedah yang berbeda.
"Kalau dari perspektif ilmu tafsir, ada satu faedah yang diikuti. Jadi, kalau ada satu kata yang artinya sa ma dengan kata lain, tapi bangunannya lebih banyak dari yang satunya, maka muatan maknanya pun lebih banyak," ucapnya.
Kata shiyam memakai empat huruf, sementara shaum menggunakan tiga huruf. Maka, dalam perintah puasa memakai kata shiyam. Ini karena puasa yang dimaksud bukan hanya menahan diri dari lapar dan makan. Namun, lebih dari itu, puasa Ramadhan menahan dari emosi, amarah, perbuatan maksiat lisan, hati, dan perbuatan.