REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedudukan mimpi bagi seorang Muslim, tak sekadar buah tidur. Lebih dari itu, kategori mimpi-mimpi tertentu dianggap sebagai sebuah pemberitaan yang diberikan langsung oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Lantas, bagaimanakah menyikapi mimpi, baik jenis mimpi yang baik atau buruk?
Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam Ensiklopedi Adab Islam Menurut Alquran dan as-Sunnah menjelaskan, Islam memberlakukan adab menyikapi mimpi. Hal ini menunjukkan bukti agung bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah tersebut memiliki dimensi universal dan integral. Islam mencakup semua perkara dunia dan akhirat.
Adab secara umum yang disampaikan oleh Syekh Nada menyikapi mimpi, di antaranya, ialah tidak sembarangan menceritakan mimpi. Kecuali kepada sosok yang dianggap kredibel seperti ulama atau penasihat. Dalam sebuah riwayat ad- Darimi dari Abu Hurairah ditegaskan bahwa Rasulullah melarang mengisahkan mimpi kecuali pada seorang alim dan orang yang dianggap mampu memberikan nasihat.
Langkah berikutnya yang penting juga diperhatikan ialah tidak gegabah menakwilkan mimpi. Lebih baik seseorang menunggu hingga benar-banar mengetahui dan menafsirkannya dengan sebaik-baik penafsiran. Hal ini dilakukan karena bisa jadi mimpi tersebut akan terjadi sesuai dengan yang ditafsirkan, kecuali Allah menghendaki berbeda.
Riwayat dari Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Razin menggarisbawahi hal itu. Disebutkan bah wa mimpi itu berada di kaki burung selama tidak ditawilkan. Maka jika ditakwilkan, niscaya ia akan terjadi. Rasulullah pun meminta agar tidak menceritakanya kecuali pada golongan-golongan yang tepercaya dan terjamin kualitas keilmuan dan pribadinya.
Syeh Nada menambahkan, hendaknya tidak berlebihan menceritakan mimpi. Apalagi sampai berdusta dan mendramatisirnya. Misalnya, ia mengklaim melihat perkara agung, padahal hal itu sama sekali tidak terdapat dalam mimpinya. Menurut sebagian ulama, tindakan semacam ini termasuk kategori dosa.