REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni ‘bukhar’ yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara’ an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.
Letak Bukhara terbilang amat strategis karena berada di Jalur Sutera. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya, dan agama. Di kota itulah bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia Barat, termasuk Cina.
Menurut syair kepahlawanan Iran, kota Bukhara dibangun oleh raja Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu Shah dalam cerita dongeng Iran yang berasal dari Dinasti Pishdak. Secara resmi, kota itu berdiri ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman perunggu.
Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, Kekaisaran Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.
Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum Islam menaklukkan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut agama Zoroaster yang menyembah api.