REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayyid Ahmad Khan telah menerbitkan lebih dari 50 buku sepanjang hayatnya. Karya-karya tokoh pembaru dari India ini meliputi antara lain tiga bidang, yakni sejarah, agama, dan edukasi.
Kontribusinya untuk studi sejarah India mencakup besar. Beberapa buah pikirnya, seperti, Asrar al-Sanadid (1847) dan Jam i-Jam (1940) berbicara tentang sejarah raja-raja Mughal serta komentar kritis terhadap keruntuhannya. Ada lagi Silsilat ul-Muluk (1852), Tarikh I-Firuz Shahi, dan Tuzuk i-Jahangiri, yang membahas seputar hal yang sama.
Dalam bidang agama Islam, bukunya yang berdampak luas adalah Tafsir al-Qur’an (tujuh jilid) yang ditulisnya pada periode 1880-1904. Pada 1893, dia menulis Risalah Ibtal al-Ghulami yang menyuarakan pandangan Islam tentang penghapusan sistem perbudakan. Selain itu, bukunya yang cukup komprehensif, Tabyin al-Kalam fi Tafsir al-Taurat wa al-Injil ala Mullat al-Islam mempersoalkan bagaimana Injil memandang Nabi Muhammad SAW.
Adapun dalam dunia pendidikan, sumbangsihnya berupa tulisan maupun tindakan nyata. Banyak ceramah dan kuliahnya yang kemudian dihimpun menjadi beberapa buku.
Memang, sejak menapaki karier di EIC pada 1840, dia mulai memanfaatkan waktu luangnya untuk menulis. Satu hal yang mendorongnya adalah kegelisahan atas nasib kaum Muslim, khususnya di India. Inggris begitu kuat mendominasi banyak bidang kehidupan masyarakat, sekalipun kekuasaan de jure Kesultanan Mughal masih ada.
Pandangan tentang Inggris
Ada hubungan yang "unik." Sayyid Ahmad Khan memandang Inggris sebagai "musuh yang terhormat". Sebab, di satu sisi Inggris membawa ke India salah satu peradaban yang unggul terutama dalam bidang sains dan teknologi. Karena itu, bagi sang sayyid, mengusir Inggris sepenuhnya tidak terlalu menguntungkan bagi situasi umat Islam di India saat itu. Dia lantas menyarankan adanya saling memahami antara kaum Muslim dan penguasa Inggris.
Sebagai birokrat, di sisi lain, Sayyid Ahmad Khan justru bersikap kritis terhadap praktik kekuasaan Inggris. Dalam setiap kesempatan, dia selalu menyampaikan kepada penguasa kolonial tentang pentingnya pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal. Tujuannya agar mereka dapat bebas dari jeratan kebodohan dan kemiskinan.
Pada awal abad ke-20, paham modernisme telah menggerakkan masyarakat jajahan untuk tampil melawan penindasan melalui jalan pendidikan. Sayyid Ahmad Khan termasuk yang mengalami sendiri dampak positif dari sikap terbuka dan kritis terhadap pengaruh luar.
Dia menilai, tidak mungkin suatu kaum bangkit dengan hanya mengandalkan pertempuran senjata. Mereka mesti dibekali dengan pendidikan yang memadai. Dalam arti, nilai-nilai agama Islam tetap tertanam dalam diri. Namun, di saat yang sama, alam pikirannya terbebas dari sikap jumud menuju sikap ilmiah yang menerima beragam perbedaan.