REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bahrain juga menjadi pusat ilmu pengetahuan selama ratusan tahun sejak masuknya Islam hingga abad ke-18 M. Salah satu filsuf Bahrain pada abad ke-13 adalah Al-Bahrani Maitham. Pada akhir abad ke-3 Hijriah, terjadi Revolusi Qurmuth, yaitu sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh sekte Ismailiyah.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Abu Sa’id al-Hasan al-Janaby. Mereka mengambil alih Kota Hajr, ibu kota Bahrain pada saat itu. Ia kemudian menjadikan Kota Hasa sebagai ibu kota republik.
Tujuan orang-orang Qurmuth adalah membangun masyarakat yang didasarkan pada musyawarah dan kesetaraan. Negara dipimpin oleh enam perdana menteri dengan seorang kepala. Semua kekayaan masyarakat didistribusikan secara merata ke semua orang.
Sebelum mengambil alih Bahrain, bangsa Qurmuth ini telah menghasut apa yang disebut para ahli sebagai “terorisme abad ini” di Kufah. Dari Bahrain, mereka meluncurkan serangan di sepanjang rute haji menuju Arab Saudi. Pada 906, mereka menyergap rombongah haji yang kembali dari Mekah dan membunuh 20 ribu di antaranya.
Di bawah pimpinan Abu Tahir al-Janabi, mereka menyerbu Baghdad pada 923 dan menjarah Kota Makkah pada 930. Pada serangan tersebut, orang-orang Qurmuth mengotori sumur zam zam dengan jenazah orang yang berhaji dan mencuri hajar aswad dan membawanya ke Bahrain.
Hampir di sepanjang abad ke-10 M, bangsa Qurmuth menjadi bangsa yang terkuat di Teluk Persia dan Timur Tengah. Mereka mengontrol pantai Oman dan mengumpulkan upeti dari kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Mereka baru dapat dikalahkan pada 976 oleh kekhalifahan Abbasiyah. Pemberontakan yang terjadi pada 1058 oleh anggota Syiah dari suku Abdul Qais, Abul Bahlul al-Awwan dan Abu Walid Islam menjadi akhir dari kekuasaan Qurmuth. Dinasti Arab kini dipimpin oleh suku Abdul Qais.
Bangsa Uyunid memerintah Bahrain pada 1076 hingga 1235 M, ketika negara kepulauan itu diduduki sebentar oleh orang Turki Salgharid Atabeg dari Fars. Ia didukung oleh penguasa Seljuk Irak. Pada 1253, dinasti Banu Uqail mendapatkan kontrol untuk Arab bagian timur, termasuk pulau-pulau Bahrain.
Pada akhir abad pertengahan kata Bahrain dipakai untuk menunjuk daerah bersejarah Bahrain. Ibnu Batutah pada abad ke-14 menggunakan kata Bahrain untuk menunjuk pulaupulau Awal.
Ekspansi Portugis ke Samudera Hindia pada awal abad ke-16 diikuti oleh pelayaran Vasco Da Gamma. Dalam eksplorasi ini Portugis bertarung melawan Ottoman (Turki Usmani) di pesisir Teluk Persia. Konon orang Portugis pertama yang mengunjungi Bahrain adalah Duarte Barbosa.
Navigator Arab, Ahmad bin Majid, mengunjungi Bahrain pada 1489. Awal (Bahrain) mempunyai 360 desa dan air bersih dapat ditemukan di banyak tempat. Ada tempat yang indah bernama al-Qasasir, yang orang dapat menyelam di laut asinnya dan juga dapat berenang di air tawar. Di sekeliling Bahrain juga terdapat budidaya mutiara, ujar sangnavigator legendaris itu.
Pada 1521, Portugis menginvasi Bahrain di bawah kepemimpinan Antonio Correia untuk mengambil alih kekayaan yang diciptakan dari industri mutiara di Bahrain. Raja Muqrin yang pada saat itu memimpin Bahrain dipenggal setelah Correia dikalahkan oleh Portugis.
Selama 80 tahun Portugis memerintah Bahrain dengan tangan besi sampai mereka akhirnya pergi dari pulau tersebut pada 1602. Pada saat itu terjadi pemberontakan yang dipicu oleh perintah gubernur terhadap eksekusi pedagang kaya di pulau tersebut. Pemberontakan ini juga terjadi bersamaan dengan perselisihan regional antara Portugis dan rivalnya di Eropa. Kekosongan kekuasaan akhirnya diisi oleh Syah Abbas yang memerintah di bawah Kerajaan Safawi.
Di bawah pemerintahan Safawi Persia (1602-1717), Bahrain jatuh pada yuridiksi administratif di bawah Beglarbegi dari Kuhgilu, yang berpusat pada Behbahan di selatan Iran. Kenyataannya, Safawi memerintah Bahrain tidak dengan kekuatan, tetapi dengan kekuatan ideologi dan manipulasi persaingan lokal. Strategi Safawi dalam banyak hal menuai terlalu banyak kesuksesan. Kekuatan dan pengaruh kelas agama membuat mereka memiliki otonomi besar.
Invasi Afganistan terhadap Iran pada awal abad ke-18 M mengakibatkan keruntuhan negara Safawi. Dalam kekosongan kekuasaan, Oman menginvasi Bahrain pada 1717 dan mengakhiri lebih dari 100 tahun hegemoni Persia.
Pada 1782 terjadi perang antara Zubarah yang berasal dari Bani Utbah dan pasukan Nasr Al-Madhkur, penguasa Bahrain dan Bushire. Kemakmuran Zubarah telah mengalihkan perhatian dua kekuatan utama pada saat itu, Persia dan Oman yang bersimpati pada ambisi Syekh Nasr.
Pada saat yang sama, Bahrain menawarkan potensi kekayaan yang besar karena ditemukannya mutiara. Setelah kalah dari pertempuran, Nasr Al-Madhkur kehilangan pulau-pulau di Bahrain pada 1783. Empat belas tahun kemudian, keluarga Al-Khalifa pindah dari Zubarah ke Bahrain. Mereka pertama-tama menetap di Jaw dan kemudian pindah ke Riffa. Penguasa pertama Al-Khalifa a dalah Syekh Ahmad al-Fateh.
Pada awal abad ke-19 M, Bahrain diinvasi kembali oleh Oman. Pada 1802, Bahrain dipimpin oleh seorang gubernur berumur 12 tahun, ketika Sayyid Sultan menyerahkan jabatan gubernur kepada anaknya, Salim, di Benteng Arad.
Al-Khalifa melakukan perjanjian dengan kerajaan Inggris pada 1820, yang saat itu memiliki kekuatan militer di Teluk Persia. Perjanjian ini kemudian kembali direvisi pada 1892 dan 1951. Perjanjian ini juga dilakukan oleh Pemerintah Inggris dengan negara lain yang terletak di Teluk Persia.
Dalam perjanjian, disebutkan bahwa penguasa daerah tidak boleh melepaskan kekuasaannya kecuali kepada Inggris, dan tidak boleh melakukan kerja sama dengan pemerintah lain tanpa persetujuan dari Inggris. Sebagai imbalan, Inggris melindungi Bahrain dari seluruh agresi, baik dari laut maupun daratan. Lebih penting lagi, Inggris berjanji untuk mendukung kekuasaan Al-Khalifa di Bahrain dan menjaganya tetap stabil.