Selasa 02 Apr 2019 18:00 WIB

Konsep Insan Ideal, Seperti Apa?

Rumusnya sederhananya adalah bagaimana manusia bisa terbebas dari penyakit hati.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- al-Muhasibi hendak menawarkan sebuah konsep untuk membentuk karekter insan integral, mutakamil. Rumusnya sederhananya adalah bagaimana manusia bisa terbebas dari penyakit hati, baik yang diakibatkan oleh kurangnya persiapan dalam bertasawuf dan bertarekat maupun disebabkan oleh perkara dunaiwi yang rendah.

Dengan kata lain, penyakit fisik ataupun nonfisik. Kedua sisi ini dalam pandangan al-Muhasibi harus ditangani secara seimbang. Apabila kedua hal ini bisa terpenuhi seimbang, maka dengan sendirinya agama samawi bisa dipraktikkan pula secara proporsional dan tepat.

Baca Juga

Menurut al-Muhasibi, kunci utama menjaga keseimbangan adalah menundukkan hati.  Bagian tubuh ini adalah unsur terpenting dalam diri manusia. Menaklukkan hati bukan perkara mudah, membutuh komitmen dan konsistensi tinggi. Resep sederhana yang mungkin ditempuh yaitu memutus mata rantai syahwat dan hawa nafsu. 

Menundukkan hawa nafsu dilakukan antara lain dengan membiasakan diri berpuasa dan tidak tamak makan atau minum. Dengan menahan lapar itulah, faktor utama memutuskan hawa nafsu.

Al-Muhasibi menjelaskan, penyakit fisik yang paling mendasar yang harus dihindari adalah kecintaan dan mengagungkan dunia. Mencinta dunia dapat mengalihkan hak-hak Allah dan melanggar batas-batas yang telah ditentukannya. 

Harta merupakan pangkal dari kerusakan di alam semesta. Gara-gara harta antara satu sama lain kerap saling menghasut, berseteru, dan bunuh-membunuh. Demikian halnya menyangkut persoalan ibadah, belajar, ataupun berinteraksi dengan sesama.

Harta bisa memicu masalah. Akibat harta, integritas dan kesucian ilmu bisa ternoda oleh penyakit yang berbahaya, seperti memperjualbelikan agama untuk dunia. Integritas yang ditawarkan al-Muhasibi bukan tanpa bukti dan praktik nyata. 

Contoh kecil telah ditunjukkannya tatkala menolak menerima harta warisan yang ditinggalkan ayahnya. Penolakan itu didasari atas keyakinan tentang takdir dan mazhab Qadariyah yang dianut oleh sang ayah. Satu sikap wara’, kehati-hatian dan tak mudah terlena oleh gemerlap harta ataupun kekayaan.

Rasulullah sudah pernah menggambarkan hal itu akan terjadi baik yang disebutkan dalam Alquran maupun sunahnya. Salah satunya, sebuah atsar pernah memberikan peringatan jelas tentang umat yang akan terbuai oleh dunia. 

Rasulullah bersabda, Niscaya akan datang setelahku (meninggal dunia) memakan iman kalian sebagaimana api melahap kayu kering.” Riwayat lain mengatakan, bahwasanya tak ada perkara lain setelah perbuatan syirik kepada Allah yang dibenci oleh Sang Khalik selain mencintai dunia. 

Wasiat dan peringatan sama juga pernah diterima oleh Nabi Musa AS. Musa diberi peringatan agar tak mudah terjerumus dan terbuai dunia. Karena tidaklah ada dosa besar yang lebih parah jika dibandingkan dengan mencintai dunia.

Al-Muhasibi memproyeksikan kondisi yang ditegaskan dalam berbagai dalil di atas kala itu dan di masa mendatang—telah dan akan terjadi. Kala itu, di masa al-Muhasibi, batas-batas agama telah banyak dilanggar, syariat Islam dan jalan kebenaran tergantikan oleh hawa nafsu dan kebatilan yang merajalela. 

Tak sedikit pengusung kebenaran mulai tersingkir oleh merebaknya para pengikut kebatilan. Situasi dan kondisi di masa itu jauh bertolak belakang dengan kondisi sahabat dan para salaf. Bahkan, al-Muhasibi pernah mengutip ungkapan salaf yang menyatakan keprihatinan atas perubahan kondisi ini. 

Jika seandainya ada satu salaf yang terbangun dari kubur kemudian melihat para cendekiawan, pemimpin, dan ulama, niscaya ia enggan berbicara dengan mereka seraya memberitahu khalayak atas satu fakta: tidaklah mereka beriman kepada hari hisab. Hanya kepada Allahlah aku mengadu,” tulis al-Muhasibi. 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement