REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam era Dinasti Yuan, kaum Muslim di Cina barat mengalami kenaikan strata sosial. Wangsa tersebut memberlakukan hukum piramida sosial, yang membagi-bagi masyarakat ke dalam empat kasta berdasarkan keturunan. Kasta tertinggi tentunya adalah kalangan bangsawan Yuan.
Adapun orang Islam dimasukkan sebagai Se Mu, yang masih tergolong kasta menengah. Meski begitu, kalangan cerdik pandai Muslim dapat diterima dengan baik ke dalam birokrasi Dinasti Yuan. Masjid-masjid pun dibangun dengan cukup pesat dalam era ini. Namun, kaisar Yuan cenderung mengeksklusi kawasan tempat tinggal kaum Muslim sehingga kurang bisa berbaur sewajarnya dengan masyarakat mayoritas.
Menjelang runtuhnya Dinasti Yuan, para kaisar memandang rendah kehadiran Islam. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan awal-awal era wangsa tersebut berkuasa. Umpamanya, kala itu negara mengakui peran para kadi Muslim sehingga mendirikan Departemen Hukum Islam. Bahkan, beberapa Muslim ditempatkan sebagai gubernur.
Misalnya, Sayyid Ajall Syamsuddin Umar al-Bukhari (wafat 1279), yang juga kakek buyut Cheng Ho, adalah gubernur Yunan. Para kaisar Dinasti Yuan pun terbilang berjasa dalam menyilakan Islam berkembang sewajarnya di Cina. Masjid-masjid berdiri dengan cukup bebas di kawasan mana pun tempat komunitas Muslim berada. Hal itu terjadi sepanjang tokoh Muslim setempat tunduk pada kekuasaan kaisar. Singkatnya, tidak ada konflik yang berarti antara agama dan negara.
Setelah keruntuhan Dinasti Yuan, berikutnya muncul Dinasti Ming (1368–1644). Masa ini boleh dikatakan puncak kemesraan hubungan antara Cina dan Islam. Populasi kaum Muslim meningkat pesat di Nanjing, pusat pemerintahan Dinasti Ming. Tokoh-tokoh militer saat itu tidak sedikit yang berasal dari suku bangsa Hui dan ikut membantu munculnya Dinasti Ming menggantikan Dinasti Yuan.
Beberapa dari mereka mendapatkan jabatan penting di Nanjing. Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Dinasti Ming, mendirikan Masjid Jing Jue untuk memperingati 21 tahun kekuasaannya. Pembangunan masjid itu sebagai bentuk apresiasinya atas kesetiaan para jenderal Muslim dalam menyokong keberlangsungan Dinasti Ming. Sampai hari ini, masjid seluas 67 hekatare itu masih dapat dijumpai di Nanjing.