REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sistem pengaliran air melalui terowongan bawah tanah ini dikenal dengan qanat. Namun, di sejumlah wilayah, sistem peng airan ini memiliki nama berbeda. Masyarakat Arab, seperti Irak, Suriah, Yordania, dan Arab Saudi menyebut sistem pengairan ini sebagai qanat yang berarti saluran, sedangkan orang Persia menyebutnya karez (kariz), yang secara teknis berasal dari kata arsitektur untuk menyebut terowongan yang mengalir kan air ke saluran bawah tanah yang lebih besar.
Sedangkan, warga Oman menyebutnya falaj yang bermakna pembagian atau peng aturan. Di negara-negara Afrika Utara, seperti Aljazair, Tunisia, dan Libya, foggara adalah nama umum bagi saluran ini, sedangkan Ma roko menggunakan nama khettara.
Dalam salah satu catatan awal pembanggunan qanat yang ditemukan di Asyur pada abad 8 SM, tercatat bahwa Raja Asiria Sargon II, saat melakukan kampanye militer di Persia, melaporkan adanya sistem air bawah tanah di dekat Danau Urmia. Putra Sargon, Senna cherib, yang memerintah pada abad ke tujuh SM, mengadopsi teknik Persia untuk mem bangun karez di dekat ibu kotanya, Nineveh, dan juga di Kota Arbela.
Pada 525 SM, Akhemeni Persia menakluk kan Mesir. Tak lama setelahnya, Raja Persia, Darius I meminta penjelajah Yunani, Carian Scylax dari Caryanda untuk membangun ka rez (qanat) dengan panjang 160 kilometer dari Lembah Nil melalui Gurun Libya ke Kharga Oasis.
Saat itu, jalur ini merupakan salah satu jalur utama perdagangan kafilah yang dikenal sebagai darb al-arba'in (jalur empat puluh hari). Melalui perdagangan dan penaklukan wilayah inilah teknologi qanat semakin cepat dan terus meluas, baik di timur maupun barat. Pada 1968, HE Wulff dari Scientific American mencatat, sisa-sisa qanat masih beroperasi. Dia berspekulasi, terobosan ini men jadi alasan atas keramahan warga Mesir ke pada Persia yang saat itu menjajah, serta mem beri gelar Fir'aun kepada Darius.