REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minat terhadap profesi amil dalam lembaga pengelola zakat, infak, dan sedekah (ZIS) serta wakaf dinilai masih kecil. Direktur Eksekutif Forum Zakat (FOZ) Agus Budiyanto mengakui adanya tantangan yang dihadapi dunia perzakatan terkait ketersediaan sumber daya manusia (SDM) amil zakat.
Dia mengungkapkan, belum banyak perguruan tinggi di Indonesia yang membuka jurusan manajemen zakat. Selain itu, lulusan manajemen zakat sendiri ternyata kurang tertarik untuk menggeluti profesi sebagai amil di lembaga amil zakat (LAZ) maupun badan amil zakat (BAZ).
Bagaimanapun, lanjut dia, animo yang cukup besar justru datang dari lulusan-lulusan perguruan tinggi yang sebelumnya tidak menempuh jurusan manajemen zakat atau syariah. Mereka kebanyakan merupakan aktivis semasa mahasiswa. Karena itu, minat mereka terkait profesi itu lebih sebagai melanjutkan idealisme dengan berkiprah di LAZ dan BAZ.
"Sebagai contoh, saya buka rekruitmen untuk satu posisi di FOZ saja yang mendaftar bisa sampai 80 orang, ada S1 dan S2, bahkan ada lulusan luar negeri," kata Agus Budiyanto melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Ahad (17/3).
Dia memandang, ketidaksesuaian input SDM itu bisa jadi memunculkan tugas baru. Dalam hal ini, FOZ memiliki tugas untuk terus meningkatkan kualitas para lulusan non-syariah itu supaya mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik sebagai amil.
"Ini terjadi karena mereka bukan berasal dari jurusan zakat, sehingga pengetahuan tentang zakat terbilang cukup minim," ujarnya.
Dalam rangka menarik minat para sarjana terhadap profesi amil, Agus mengatakan ada beberapa inovasi yang FOZ tawarkan. Misalnya, dengan membuka banyak kerja sama dengan perguruan tinggi atau bahkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).
Fokus kerja sama meliputi aspek pemberian kurikulum tambahan tentang zakat di jurusan-jurusan yang masih satu rumpun atau berhubungan. Selain itu, FOZ juga menawarkan inisiatif untuk menghadirkan amil-amil zakat senior sebagai dosen tamu di perguruan tinggi. Ada pula upaya untuk menggiatkan kerja sama penelitian tentang zakat yang dikelola LAZ sehingga melibatkan mahasiswa.
Agus juga menekankan perlunya optimalisasi peran dan fungsi Sekolah Amil Indonesia (SAI) sebagai lembaga peningkatan kompetensi amil zakat. Hal itu dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas amil zakat khususnya yang tidak berasal dari jurusan zakat ketika belajar di perguruan tinggi.
Selain itu, ia juga mengusulkan adanya sertifikasi amil zakat sebagai bentuk profesionalitas pengelolaan amil zakat. Dalam hal ini, ia mengatakan FOZ akan mensertifikasi setidaknya 90 amil zakat pada April 2019 mendatang.
Memperbanyak kegiatan sosial yang melibatkan mahasiswa juga bisa menjadi salah satu cara untuk menarik minat terhadap profesi amil. Menurut Agus, hal itu bisa dilakukan dengan badan eksekutif mahasiswa (BEM), lembaga dakwah kampus (LDK), dan lainnya. Di sini, menurutnya, LAZ harus hadir agar mahasiswa mudah mengakses dana zakat untuk kegiatan mereka yang berkaitan dengan asnaf.
"Dengan begini, maka mahasiswa akan terpapar semangat gerakan zakat dan punya ketertarikan," lanjut dia.
Agus pun mengusulkan agar memperbanyak forum diskursus zakat di kampus-kampus untuk tema-tema apa pun yang relevan. Misalnya, kemanusiaan, kemahasiswaan, pemberdayaan, beasiswa, dan lain-lain.
Gerakan zakat yang dikoordinasi FOZ terus berfokus untuk memperbaiki kualitas tatakelola SDM di semua LAZ. Hal itu dimaksudkan agar LAZ memiliki standar pengelolaan yang bagus, seperti halnya industri yang mapan. FOZ sendiri, menurutnya, sudah dan tengah bekerja dalam memperbaiki kualitas tatakelola SDM zakat dengan membentuk HRD Zakat Forum.
"Banyak hal dilakukan, memperbaiki people development, reward development, jenjang karir yang jelas, dan lainnya. Sehingga lulusan-lulusan terbaik PT juga bisa membangun karir sebagai amil dengan masa depan yang lebih jelas dan achievable," tambahnya.