REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG — Pendakwah terkemuka Nahdlatul Ulama KH Ahmad Muwafiq atau yang akrab disapa Gus Muwafiq memberikan pesan khusus kepada generasi milineal terutama dalam mencari ilmu agama.
Gus Muwafiq mengatakan, perkembangan informasi yang serba cepat dan mutakhir telah memangkas segala sesatu dan menjadikannya instan, tak terkecuali memotong pula proses belajar agama.
“Agama kita mengajarkan agar belajar kepada mereka yang mempunyai mata rantai keilmuan yang jelas,” kata dia saat mengisi Tausiyah Kebangsaan yang digelar Gerakan Pramuka Gugus Depan Jakarta Selatan di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/3).
Sebagai contoh, dia membeberkan mata rantai para guru yang selama ini mengajarkanmya ilmu agama di pesantren.
Dari paparan mata rantai atau sanad tersebut, terungkap betapa para ulama dan kiai yang menjadi gurunya, sanadnya tersambung hingga Rasulullah SAW.
“Tradisi semacam ini yang hendak dipotong kompas dengan gaya instan ngaji di media sosial,” tutur dia.
Dia mengatakan, tradisi mata rantai itu pula yang menjadi salah satu ciri khas bangunan keilmuan yang telah ditelakkan para kiai, habaib, dan ulama di nusantara.
Tradisi tersebut semakin diperkuat dengan kemampuan membaca konsep hubungan antarsesama anak bangsa dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Dia menegaskan keragaman Indonesia yang begitu kaya. Negara ini tidak hanya dianugerahi kekayaan budaya, suku, bahasa, tetapi juga flora, fauna, hingga energi dan logam dalam bumi.
"(Sudah semestinya anugerah ini) nggak ada yang membuat kita inferior," katanya di hadapan mahasiswa dan kader Pramuka.
Gus Muwafiq juga membuktikan betapa para leluhur bangsa ini diberikan sumber daya manusia yang luar biasa.
Dia menyebutkan misalnya logam paling kuat bisa diolah masyarakat Indonesia dengan suhu 15 ribu derajat yang berbentuk senjata hingga musik gamelan di saat negara lain belum memilikinya.
Bangsa Indonesia juga, kata dia, pernah menghadang dan mengusir bangsa Mongolia dengan kekuatan militer superpower pada masa itu. Namun, di tangan pasukan Kertenegara, pasukan Mongolia harus bertekuk lutut.
Dia mengakui, meski anuegerah bangsa yang dimiliki sedemikian dahsyat bahkan dirinya merasa tak ada kekuarangan apapun dari Indonesia, tetapi sayangnya memang upaya membangkitkan semangat masih cukup berat.