Sabtu 09 Mar 2019 11:21 WIB

Memahami Fikih

Beragam definisi muncul menjelaskan apa yang dimaksud dengan fikih

Sejumlah buku-buku Islami termasuk kitab usul fikih yang dipajang di sebuah toko buku.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sejumlah buku-buku Islami termasuk kitab usul fikih yang dipajang di sebuah toko buku.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beragam definisi muncul menjelaskan apa yang dimaksud dengan fikih. Menurut bahasa, fikih adalah paham. Maksudnya, pengertian atau pemahaman mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal, sedangkan para ulama usul fikih menyatakan, fikih adalah mengetahui hukum Islam yang bersifat amalan melalui dalil terperinci.

Di sisi lain, ulama fikih menguraikan bahwa fikih merupakan sekumpulan hukum amaliah yang disyariatkan dalam Islam. Pembahasan fikih ini mencakup perbuatan para mukalaf atau orang dewasa yang wajib menjalankan hukum agama dan hukum seperti apa yang harus dikenakan terhadap perbuatan itu.

Misalnya, jual beli yang dilakukan seorang mukalaf atau salat dan puasa yang ia tunaikan. Jika kegiatan-kegiatan itu sesuai dengan hukum Islam, dinyatakan sah. Kalau suatu saat seorang mukalaf mencuri, perbuatan itu bertentangan dengan hukum dan dinyatakan haram serta wajib diberlakukan hukuman pencurian.

Dengan demikian, setiap perbuatan mukalaf mempunyai nilai hukumnya sendiri-sendiri, bisa wajib, sunah, boleh atau mubah, makruh, dan haram. Ensiklopedi Islam menguraikan, para ulama membagi hukum fikih ke dalam beberapa hal, yaitu hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah SWT, seperti shalat, puasa, atau haji.

Lalu, ada pula hukum yang ada sangkut-pautnya dengan permasalahan keluarga, seperti nikah dan percerain, hukum mengenai hubungan antarsesama manusia, hukum yang berisi tindak pidana, penyelesaian sengketa, hubungan antara penguasa dan warganya, hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai serta akhlak.

Dalam penetapannya, ada sumber hukum fikih, yaitu yang disepakati sebagai sumber, yaitu Alquran dan hadis. Sedangkan, sumber yang dibedakan di antaranya ijmak dan kias yang biasa disebut sebagai sumber sekunder. Sebab, dalam penetapan hukum ijmak dan kias tak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan pada Alquran dan hadis.

Ahli fikih Mustafa Zarqa memaparkan, seiring laju zaman fikih mengalami proses perkembangan. Menurut dia, ada tujuh periode perkembangan. Pertama, periode risalah, yaitu selama masa kehidupan Rasulullah. Pada periode ini, fikih masih dipahami sebagai segala yang dikandung Alquran dan hadis.

Hal itu mencakup persoalan akidah, ibadah, muamalah, dan adab. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menerangkan, fikih pada masa Rasulullah mengandung ilmu yang menuju jalan akhirat. Kedua, periode empat khalifah utama sampai pertengahan abad pertama Hijriah.

Saat Rasul masih hidup, para sahabat belum berpikir secara serius mengenai permasalahan hukum karena semua hal dirujuk pada diri Rasulullah. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, baru para sahabat berani berijtihad dalam memecahkan permasalahan-permasalahan baru yang muncul.

Setiap menghadapi masalah, yang pertama dilakukan adalah mencari jawaban dari Alquran. Jika mereka tak mendapati di Alquran, mereka meneliti hadis-hadis Nabi Muhammad. Langkah selanjutnya, mereka berijtihad dengan bersandar pada prinsip-prinsip yang ditinggalkan Rasul.

Ketiga, dari pertengahan abad pertama Hijriah sampai permulaan abad kedua Hijriah. Sedangkan, periode keempat dari awal abad kedua hingga pertengahan abad keempat Hijriah. Pada periode ini fikih berkembang pesat yang ditandai dengan munculnya para imam mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali.

Kelima, periode pertengahan abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Hijriah. Pada periode ini, gerakan ijtihad mulai melemah. Para ahli fikih lebih fokus terhadap pengkajian pada pendapat-pendapat yang ada di dalam mazhab masing-masing. Kajian itu berupa penjelasan, penerapan, dan penetapan buku fikih mazhab mereka.

Sementara periode keenam, berlangsung dari pertengahan abad ketujuh Hijriah hingga munculnya kodifikasi hukum perdata Islam pada masa Turki Utsmani, yang diundangkan pada 26 Sya’ban 1293. Sejumlah hal penting muncul pada periode ini, seperti berkembangnya pembukuan fatwa hukum resmi dengan menyusunnya pada bab tertentu.

Perode ketujuh, bermula setelah munculnya kodifikasi hukum perdata Islam hingga masa modern. Mustafa Zarqa mengatakan, ada tiga ciri pada periode ini, yaitu lahirnya kodifikasi fikih seusai tuntunan zaman, meluasnya usaha kodifikasi hukum yang tak hanya pada hukum perdata, tetapi juga pidana, acara, dan hukum administrasi negara.

Dan, terakhir adalah maraknya langkah untuk menerapkan materi hukum tanpa terikat pada salah satu mazhab dari empat mazhab. Mulai ada pertimbangan mazhab yang sebelumnya tak banyak diungkap, seperti Mazhab Makhul, Hasan Basri, An-Nakhai, Auza, dan Abu Laila.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement