Jumat 08 Mar 2019 20:37 WIB

Sejarah Kesultanan Siak Sri Inderapura (5-Selesai)

Kesultanan Siak Sri Inderapura tetap bertahan hingga abad ke-20.

Istana Siak.
Foto: Prayogi/Republika
Istana Siak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khairiah dalam buku Menelusuri Jejak Arkeologi di Siak (2014) mengungkapkan kerugian yang diderita Kesultanan Siak akibat politik Belanda di Sumatra. Wilayah kerajaan Islam ini menjadi kian menyempit, terutama setelah Belanda mulai mendirikan Residentie Riouw di Tanjung Pinang.

Baca juga: Sejarah Kesultanan Siak Sri Inderapura (4)

Baca Juga

Lebih lanjut, pada 1840 Melaka jatuh ke tangan Inggris sehingga membuat raja Siak terpaksa membuat kesepakatan baru pada 1819. Sejak 1 Februari 1858, berdasarkan perjanjian yang mengikat, Belanda menganggap Kesultanan Siak sebagai suatu bagian dari Hindia Belanda. Praktis, para sultan Siak setelahnya telah kehilangan kedaulatan negeri.

Kerajaan Islam ini dilarang untuk membuat kesepakatan dengan bangsa-bangsa asing tanpa persetujuan Belanda. Kemudian, Belanda juga mendirikan pos militer di Bengkalis untuk lebih mengawasi para pemimpin Siak dan keluarga. Hal itu lantaran menurut perjanjian pada 26 Juli 1873, Kesultanan Siak harus menyerahkan wilayah Bengkalis kepada residen Belanda di Riau.

Bertolak belakang dengan situasi pada abad ke-18, sepanjang abad ke-19 Kesultanan Siak mengalami penurunan pengaruh. Wilayah-wilayah yang dahulu dikendalikan, mulai saat itu lepas dan menjadi negeri-negeri yang mandiri. Hal itu terutama karena kuatnya pengaruh Belanda dan Inggris di sekitar Selat Malaka. Belanda, yang berambisi menguasai seluruh Nusantara, membuat kerajaan-kerajaan di sana hanya sebagai bawahan.

Bagaimanapun, Kesultanan Siak tetap bertahan sampai abad ke-20. Pada kurun waktu ini, tumbuh kesadaran nasionalisme di tengah masyarakat, khususnya kaum terpelajar. Di lingkungan istana Siak sendiri sudah tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan. Memang, pada umumnya orang-orang Siak gemar merantau, termasuk dalam soal mencari ilmu pengetahuan. Sejak awal abad ke-20, tidak sedikit anak-anak bangsawan yang juga menempuh pendidikan berhaluan Barat, tanpa meninggalkan ilmu-ilmu agama.

Sebagai contoh, Tengku Sulong Sayid Qasim, yang kelak menjadi raja Siak yang terakhir, belajar agama Islam di Siak dan juga Jakarta, terutama kepada Sayyid Husein al-Aidit. Mengikuti saran pemerintah kolonial, dia juga menerima pengajaran hukum dan tata negara modern dari orientalis Snouck Hurgronje.

Dengan keluasan pemikiran, para sultan Siak tidak memandang berbeda pergerakan nasionalisme daripada perjuangan menegakkan kedaulatan di negeri sendiri. Pada akhirnya, ketika berkuasa Tengku Sulong tidak ragu untuk menegaskan peleburan kerajaannya ke dalam bingkai Republik Indonesia. Bahkan, dia ikut menyumbang harta dalam jumlah besar kepada negara yang baru lahir itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement