REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah seorang tokoh kebangkitan Islam moderat pada abad ke-20 ialah Syekh Muhammad al-Ghazali. Penulis lebih dari 94 buku itu lahir di Desa Nakla al-‘Inab, Buhairah, Mesir, pada 22 September 1917.
Anak pertama dari tujuh bersaudara itu dinamakan demikian karena orang tuanya berharap sang buah hati mengikuti jejak Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (1058-1111). Sejarah membuktikan, harapan ini akhirnya terwujud berkat izin Allah SWT.
Muhammad al-Ghazali berasal dari keluarga yang sederhana. Masyarakat setempat mengenal ayahnya tidak hanya sebagai pedagang, tetapi juga penghafal Alquran. Tidak mengherankan bila anak-anaknya tumbuh dalam suasana yang religius. Anak sulungnya memulai pendidikan dasar di sekolah khusus para hafizh. Saat berusia 10 tahun, dia sudah lancar menghafal Alquran 30 juz.
Untuk menempuh sekolah agama tingkat menengah, dia hijrah ke Iskandariah. Minatnya mulai timbul untuk menekuni dunia dakwah sejak saat itu. Pelbagai kajian keagamaan dihadirinya, terutama yang digelar pendiri Ikhwanul Muslimin, Syekh Hassan al-Banna. Setelah lulus, Muhammad al-Ghazali diterima di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, pada 1937.
Empat tahun kemudian, dia berhasil meraih gelar sarjana. Aktivitasnya di dunia dakwah mulai berkibar. Di sela-sela kesibukannya, dia tekun meneruskan studi S-2 hingga tuntas. Guru-gurunya yang cukup berpengaruh baginya antara lain Syekh Ibrahim al-Gharbawi, Syekh Abdul Aziz Bilal, dan Syekh Abdul Azhim az-Zarqani.
Pada 1943, dia menyandang gelar master dari Jurusan Dakwah wa al-Irsyad. Pihak Universitas al-Azhar kemudian memintanya mengajar berturut-turut di Fakultas Syariah, Ushuluddin, Tarbiyah, serta al-Dirasat al-Islamiyah wa al-'Arabiyah. Di luar kesibukan kampus, bapak dua orang putra dan lima orang putri ini juga aktif menjadi imam dan khatib tetap di masjid-masjid di Kairo.
Namanya mulai dikenal luas publik setempat. Tulisan-tulisannya tersebar di pelbagai media massa. Misalnya, al-Muslimun, an-Nadzir, ¬al-Mabahits, Liwa al-Islam, Mimbar al-Islam, dan Majalah al-Azhar. Mengutip uraian Thalib Anis dalam pengantar buku Berdialog dengan Alquran (1996), tempat-tempatnya berceramah selalu dipadati hadirin.
Mereka yang menyimaknya terdiri atas kaum ulama, cendekiawan, mahasiswa, serta lapisan masyarakat lainnya. Lambat laun, bukan hanya masyarakat Mesir yang akrab dengan ceramah-ceramahnya, tetapi juga khalayak dari negara-negara di Asia Barat lainnya.