REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ‘Aisyiyah berdiri pada 19 Mei 1917, bertepatan dengan perayaan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. Bentuk awalnya adalah perhimpunan Sopo Tresno (harfiah: ‘siapa suka, siapa cinta’) pada 1914.
Sopo Tresno diinisasi KH Ahmad Dahlan dan istrinya, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, untuk menjadi forum pengajian remaja perempuan di Kauman, Yogyakarta. Kiai Ahmad Dahlan berupaya melawan anggapan yang banyak beredar saat itu.
Misalnya, isu bahwa kaum perempuan tidak usah menempuh pendidikan formal. Menurut pendiri Muhammadiyah itu, perempuan termasuk di dalamnya anak-anak gadis mesti dididik. Hal itu supaya mereka dapat menjadi bagian dari umat Islam yang tangguh.
Pendirian ‘Aisyiyah berawal dari sebuah pertemuan yang berlangsung di rumah KH Ahmad Dahlan pada 1917. Hadir di sana, antara lain KH Fachrodin, KH Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo, dan enam orang gadis Muslimah yang memang telah dikader sebelumnya melalui Sopo Tresno, yakni Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah.
Hasil rapat itu, diputuskanlah bahwa organisasi perempuan Muhammadiyah akan segera terbentuk. Namanya, ‘Aisyiyah—sesuai usulan KH Fachrodin.
Mengapa namanya demikian? Kalau ingin merujuk pada istri Nabi Muhammad SAW, mengapa bukan umpamanya Khadijah RA, tetapi ‘Aisyah?
Alasannya, bahwa figur istri Rasulullah SAW itu dikenang sebagai sosok perempuan yang lugas, cerdas, berani, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Dengan begitu, Kiai Ahmad Dahlan dan kawan-kawan ingin agar para aktivis lembaga tersebut meniru sifat-sifat baik putri Abu Bakar ash-Shiddiq itu.
Bila dapat dibanding-bandingkan, maka ini penjelasannya. Sosok ‘Aisyah cenderung berperan di ranah publik pada masa umat Islam sudah mapan. Dalam arti, para pengikut Rasulullah SAW sudah menjadi mayoritas di negeri Madinah. Adapun peran Khadijah RA cenderung sebagai istri Nabi SAW yang menunjang sosok suami. Apalagi, kala itu para pengikut Nabi SAW masih berjumlah minoritas di Makkah.
Dihubungkan dengan kondisi Jawa saat itu, umat menduduki posisi mayoritas--sama ibaratnya dengan kaum Muslimin era Madinah.
Alasan lainnya, ‘Aisyah juga dikenang sebagai ilmuwan Muslimah. Banyak hadits yang diriwayatkan darinya. Dengan demikian, diharapkan bahwa para aktivis ‘Aisyiyah punya jiwa dan kualitas yang kira-kira sama dengan ‘Aisyah.
Seperti diungkapkan Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2016), pada 1923 ‘Aisyiyah dikembangkan menjadi bagian dalam Muhammadiyah.
Empat tahun kemudian, ‘Aisyiyah berubah menjadi sebuah majelis (Hoofbestuur) karena cabang-cabangnya sudah tersebar di seluruh Indonesia. Atas permintaan Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Siti Bariyah ditunjuk menjadi ketuanya.
Adapun para pengurus terdiri atas Siti Badilah (Sekretaris), Siti Aminah (Bendahara), Ny H Abdullah, Ny Fatimah Wasaal, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, dan Siti Busyro (anggota).
Baca juga: Aisyiyah: Peran Perempuan Sangat Strategis
Bila dalam mengembangkan Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan kerap mengingatkan tentang makna surah al-Ma’un, maka untuk ‘Aisyiyah disebutkanlah surah an-Nahl ayat 97, yang artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Firman Allah SWT itu mengisyaratkan bahwa amr ma’ruf nahi munkar bisa ditegakkan, tanpa memandang jenis kelamin pelakunya. Dengan demikian, tidak dapat dibenarkan bahwa peran kaum hawa hanya di rumah, tidak terjun ke tengah masyarakat untuk ikut berdakwah di samping kaum adam.
Baca juga: Aisyiyah Gelar Pelatihan Guru