REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bencana alam dapat dipandang sebagai pengingat bagi orang-orang yang beriman agar meningkatkan ketakwaan, khususnya selagi usia masih dikandung badan. Hal itu juga dapat dipahami dalam konteks gempa bumi, bencana yang sukar diprediksi kedatangannya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, al-Jawab al-Kafy, berkomentar, “Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi, mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian.’”
Gempa bumi pernah menggoyang wilayah kaum Muslimin generasi tabiin. Misalnya, ketika umat setempat sedang dipimpin Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah.
Dia mengambil kebijakan yang sejalan dengan apa yang telah dilakukan kakek buyutnya, Khalifah Umar bin Khaththab. Diserukannya kepada penduduk agar sama-sama bermunajat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya, baik ketika maupun sesudah gempa terjadi.
Selanjutnya, pemimpin yang terkenal akan sifat zuhudnya itu mengirimkan surat kepada seluruh wali negeri. Isinya mengingatkan para bawahannya itu.
“Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini merupakan teguran dari Allah kepada seluruh hamba-Nya. Saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
Ensiklopedia Medieval Islamic Civilization menyebutkan, komunitas Muslim sudah sejak awal memiliki kewaspadaan terhadap bencana alam. Beberapa wilayah Muslim juga pernah dilanda gempa bumi skala besar.
Dampaknya cenderung memperlemah struktur sosial dan politik umat Islam. Sebagai contoh, Suriah yang dilanda gempa sepanjang akhir abad ke-11—yakni tahun 1050, 1063, 1068, 1069, 1086, dan 1091.
Penduduk setempat banyak yang menjadi korban tewas. Berbagai bangunan dan rumah-rumah warga yang hancur atau bahkan rata dengan tanah. Aktivitas ekonomi dan keamanan mengalami kekacauan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Imbasnya, pada awal abad ke-12, pasukan Salib dari Eropa dapat relatif mudah menjebol pertahanan Suriah dan menaklukkan negeri Muslim itu.
Para sarjana Muslim pada abad pertengahan memandang fenomena gempa bumi secara berlainan. Beberapa menyebut secara sekilas saja musibah tersebut, tanpa menyelidikinya lebih jauh.
Namun, tidak sedikit pula yang menggambarkan kejadian gempa begitu detail. Khususnya dalam rangka mengenang sanak famili atau komunitasnya pasca-bencana.
Misalnya, Usama ibn Munqidh, seorang penyair dari abad ke-12 yang menggubah sajak panjang setelah dia kehilangan banyak sanak familinya dalam gempa yang mengguncang Suriah.