REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga puluh tahun sudah berlalu sejak Kongres Berlin 1878. Pertemuan itu dihadiri wakil-wakil imperium besar Eropa, seperti Rusia, Inggris Raya, Prancis, Austria-Hongaria, Italia, Jerman, dan Kesultanan Utsmaniyah.
Kini, Austria-Hongaria resmi mencaplok Bosnia-Herzegovina. Awalnya, langkah ini dianggap menyalahi hasil kongres tersebut. Namun, Dinasti Utsmaniyah tidak berkutik. Imperium katolik tersebut kemudian memberikan sejumlah besar uang kepada Utsmaniyah sebagai kompensasi.
Kecaman datang dari etnis Serbia. Mereka menolak aneksasi yang dilakukan Austria-Hongaria itu karena dinilai akan membahayakan kaum Kristen Ortodoks setempat. Tampak ada kontestasi antara negeri Katolik dan Kristen.
Pada 1912, Serbia beraliansi dengan Montenegro, Bulgaria, dan Yunani. Gabungan kekuatan ini berhasil merebut sebagian besar wilayah Utsmaniyah di Semenanjung Balkan.
Inilah awal dari prahara Perang Dunia I. Di Serbia muncul kelompok ekstremis Tangan Hitam (Black Hand), yang dipimpin komandan militer Serbia, Dragutin Dimitrijevic. Kelompok ini meyakini, Bosnia-Herzegovina harus dimiliki rezim Kristen Ortodoks, bukan Austria-Hongaria.
Pada 28 Juni 1914, putra mahkota Austria-Hongaria Francis Ferdinand dan rombongan berkunjung ke Sarajevo. Dimitrijevic lantas mengutus seorang pemuda 19 tahun, Gavrilo Princip, untuk menjalankan misi pembunuhan terhadap Francis.
Dengan pistol dari sakunya, Princip menghilangkan nyawa sang pangeran Austria-Hongaria beserta istrinya, Sophie, yang sedang menumpangi kendaraan mereka. Itulah awal mula prahara Perang Dunia I.
Perang besar itu baru berakhir pada 11 November 1918, dengan menyerahnya elemen kunci Blok Sentral, yakni Jerman. Turki Utsmaniyah termasuk Blok Sentral, sehingga menanggung konsekuensi kekalahan.
Kekuasaan kesultanan di Semenanjung Balkan pun merosot drastis. Hanya berselang satu bulan kemudian, kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia (selanjutnya disebut Yugoslavia) terbentuk dengan tujuan menyatukan bangsa-bangsa Slavia. Wilayah Bosnia-Herzegovina termasuk di dalamnya.
Awalnya, umat Islam Bosnia-Herzegovina tidak begitu mempersoalkan rezim Raja Yugoslavia Alexander. Sikap dingin juga dirasakan dari kalangan petani.
Namun, kerusuhan sosial mulai pecah di Bosnia, sehingga membahayakan diri kolektif mereka. Tentara Yugoslavia dianggap kurang cepat tanggap bila ditugaskan melindungi kaum Muslim.