REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanda-tanda kemunduran Banten di era Sultan Abul Mufakhir perlahan sirna. Pada 1631, cucu raja tersebut lahir dengan nama Pangeran Surya.
Dua puluh tahun kemudian, dia naik menjadi raja Banten dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Belakangan, anak pasangan Abu al-Maali Ahmad dan Ratu Martakusuma ini lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa. Hal itu terutama sejak pendirian keraton Banten baru di Dusun Tirtayasa (kini bagian dari Kabupaten Serang).
Sultan Ageng Tirtayasa memerhatikan persoalan rakyat dan membela kedaulatan Banten. Dia mengambil banyak pelajaran dari kepemimpinan masa lalu. Di masa kakeknya, hubungan Banten dengan Belanda (VOC/Kompeni) berjalan seolah-olah baik.
Diplomasi terus dilaksanakan, tetapi di lapangan orang-orang Belanda semakin sewenang-wenang. Apalagi, Kompeni yang berbasis di Batavia kerap melanggar perjanjian lantaran menganggap remeh Kesultanan Banten.
Belanda kerap merintangi kapal-kapal Banten yang berlayar menuju Maluku, Perah, dan Ujung Selang. Tujuannya untuk menjaga keutuhan monopoli perdagangan rempah-rempah. Selain itu, Belanda juga menutup pintu Batavia dari para pelaut asal Banten yang hendak berdagang cengkeh dan pala.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, pelabuhan-pelabuhan Banten ramai dikunjungi para pelaut dari pelbagai bangsa. Melihat kenyataan ini, Kompeni kian berambisi untuk mencaplok wilayah Banten agar seluruh Jawa dapat dikuasainya.
Di era pemerintahan sang sultan, setidaknya dua kali Kompeni menyulut perselisihan dengan memblokade Banten pada 1655 dan 1657.
Kapal-kapal mancanegara yang hendak bertransaksi di Banten pun terkendala masuk. Pada 1658 dan 1659, kedua belah pihak sempat menemui kata damai. Dalam hal ini, Inggris yang merupakan pesaing VOC jauh lebih dapat dipercaya ketimbang orang-orang gubernur jenderal John Maetsuyker.
Baca juga: Geliat Kesultanan Banten Melawan Penjajahan (3)