Senin 18 Feb 2019 16:14 WIB

Syekh Yusuf al-Makassari, Dakwah di Nusantara dan Afsel (5)

Ulama besar itu wafat di tanah pengasingan sekaligus medan dakwah, Afrika Selatan

Foto: tangkapan layar wikipedia.org
"Makam" Syekh Yusuf al-Makassari di Macassar, suatu kota kecil di Afrika Selatan (Afsel)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak saat itu, Syekh Yusuf al-Makassari menjalani pengasingan di negeri yang amat jauh dari kampung halaman. Lokasinya berada di Afrika Selatan (Afsel).

Ada dua perspektif yang bisa dipakai. Di satu sisi, sufi-pejuang tersebut secara empiris memang kian jauh dari tanah kelahirannya. Di sisi lain, kehadirannya di Benua Hitam ternyata ikut merintis dakwah dan perkembangan Islam di tengah masyarakat setempat.

Taufiq Ismail dalam buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3 menjelaskan, Belanda mulai mendirikan koloni di Afrika Selatan pada 1652. Belasan tahun kemudian, daerah itu menjadi tujuan pembuangan lawan-lawan politik kolonial--siapapun itu.

Sebelum kedatangan Syekh Yusuf al-Makassari, sudah ada tiga orang tahanan politik asal Nusantara--tepatnya: Sumatra Barat--yang dibuang ke sana pada 1667.

 

Dua orang dicampakkan ke hutan, sedangkan seorang lainnya ditahan di Pulau Robben, Afsel. Mereka adalah kaum Urang Kayo (Belanda: Cayen) yang nama-namanya tidak dicantumkan pada nisan setempat.

Pada 2 April 1694, Syekh Yusuf dan para pengikutnya tiba di Afsel dengan menumpang kapal “De Voetboeg”. Mereka dalam keadaan dibelenggu rantai besi dan pemberat sejak meninggalkan Sri Lanka.

Rombongan tahanan Syekh Yusuf berada di kawasan Zandfliet, dekat False Bay. Kendati mengalami isolasi, dia dan orang-orang Nusantara yang bersamanya masih dapat melakukan interaksi dengan penduduk setempat. Bahkan, ulama kelahiran Gowa (Sulawesi Selatan) itu rutin mendakwahkan Islam kepada mereka. Namanya pun masyhur dari kampung ke kampung.

Afsel saat itu merupakan daerah yang dihuni banyak buruh kerja paksa yang didatangkan oleh pemerintah kolonial dan para pengusaha kulit putih untuk membangun koloni-koloni. Sejak sang syekh ada di sana, sebagian dari mereka mulai kian tertarik untuk mempelajari Islam, padahal pada saat yang sama juga gencar kristenisasi yang dilakukan pihak Barat.

Menjadi tahanan tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berdakwah, termasuk via tulisan. Taufiq Ismail mengutip data dari tesis Suleman Essop Dangor (1981) bahwa Syekh Yusuf al-Makassari telah menulis sekurang-kurangnya 15 buku dalam bahasa Arab, Bugis, dan Melayu.

Banyak karyanya yang sampai hari ini masih tersimpan di perpustakaan Leiden, Belanda. Kegemarannya menulis sudah ditekuninya sejak masih menjabat mufti di Banten hingga berstatus tahanan politik di pengasingan, baik Batavia, Sri Lanka, maupun Afsel.

Syekh Yusuf berpulang ke rahmatullah pada 23 Mei 1699 atau lima tahun pasca-penahanan di Zandfliet. Jenazah almarhum dikebumikan di Zandfliet—yang kini bernama Desa Macassar, Cape Town, Afsel.

Penamaan desa tersebut jelas mengungkapkan, betapa masyarakat setempat menghormati Syekh Yusuf sebagai seorang pahlawan.

Beberapa waktu kemudian, Belanda menerima permintaan dari Sultan Gowa Abdul Jalil, yang menghendaki agar jasad salik tersebut dipindahkan ke tanah kelahirannya, Gowa. Penjemputan pun tiba di Afsel pada 5 April 1705 dan sehari berikutnya pemakamannya dilakukan di Lakiung, Sulawesi Selatan.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement