REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang pemilihan umum (pemilu) 1977, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai mendekati KH Zainuddin MZ. Tujuannya, menggaet sang mubaligh untuk menjadi seorang juru kampanye.
Waktu itu, Zainuddin bersahabat baik dengan Ridwan Saidi, koordinator kampanye PPP saat itu (kini budayawan Betawi). Sejak pemilu itu dan berikutnya, Zainuddin tidak jarang tampil di atas panggung untuk mengampanyekan partai tersebut.
Jumlah hadirin bisa mencapai puluhan ribu orang. Apalagi, ada penampilan sang Raja Dangdut Rhoma Irama. Penampilan musisi yang juga konsen pada dakwah Islam itu semakin menarik perhatian massa.
Di sinilah KH Zainuddin MZ mulai menyadari besarnya potensi umat Islam di Tanah Air. “Bagaimana kalau puluhan ribu umat itu diajak ke kebaikan, disadarkan dari kealpaan mengabdi kepada Allah, dan merealisasi ukhuwah Islamiyyah,” kenang dia, seperti dikutip buku Dakwah & Politik (1997).
Setahun setelah pemilu 1982, dia mulai meninggalkan panggung politik. Alasannya, semata-mata ingin lebih bebas dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Semenjak dekat dengan PPP, pada masa itu dia mulai dicurigai membawa pesan politik-praktis tertentu. Apalagi, partai berwarna dominan hijau itu merupakan oposan pemerintah.
Jalan masih terbuka lebar baginya untuk meluaskan jangkauan dakwah. Sebuah perusahaan rekaman menawarkan kerja sama kepadanya. Dengan begitu, ceramah-ceramahnya dapat didokumentasikan ke dalam pita kaset.
Alhasil, seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri, dapat mengenalnya. Radio-radio swasta mulai menyiarkan rekaman ceramahnya. Beberapa lama kemudian, stasiun-stasiun televisi juga mengundangnya untuk tabligh akbar siaran langsung.
Mulai Dikenal Luas
Permintaan berdakwah semakin membludak dari daerah-daerah. Karena itu, KH Zainuddin MZ mulai membentuk suatu tim koordinator. Tujuannya agar jadwal lebih sistematis dan terencana.
Kesibukannya tidak tanggung-tanggung. Sebagai contoh, pernah suatu kali dia harus menyambangi 120 lokasi, yang tersebar dari Jakarta hingga Maluku. Suatu panitia bahkan pernah menyiapkan helikopter untuk mengangkutnya, meski KH Zainuddin MZ sendiri tidak pernah meminta fasilitas demikian.
Ketenarannya tidak lepas dari perhatian pemerintah. Presiden Suharto kemudian mulai sering mengundangnya untuk berceramah di pelbagai kesempatan, baik itu acara-acara resmi maupun internal Keluarga Cendana.
Sebagai seorang figur publik, namanya sempat diterpa isu miring. Dia dituding telah mengubah dakwah menjadi ranah komersil. KH Zainuddin MZ menjelaskan, tuduhan itu tidak mendasar dan lebih sebagai salah sangka.
Terdapat tiga alasan untuk itu. Pertama, menurutnya, ada kemungkinan beberapa kasus kecil. Pihak panitia berupaya mendatangkan seorang dai kondang, termasuk dirinya, sehingga bisa menghimpun dana untuk keperluan tersendiri. Mereka pun membuat undangan dengan infak, sehingga hubungan antara panitia dan koordinator bisa dimaknai mirip bisnis, padahal bukan demikian.
Kedua, lanjut KH Zainuddin MZ, pihak panitia memang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dana itu bukan untuk mengundangnya, melainkan keperluan teknis bagi hadirin. Sebut saja, penyewaan tenda atau keperluan konsumsi.
Ketiga, pihak panitia merancang sendiri besaran dana untuk mendatangkan narasumber, kendati pihak penceramah itu sendiri--termasuk dirinya--tidak mengharuskan.
“Yang jelas, saya tetap konsekuen pada khitah. Saya tidak mengenal tarif-tarifan,” tegasnya.
Untuk menghidupi keluarganya, KH Zainuddin MZ tidak mengandalkan penghasilan dari jalan dakwah. Sebab, banyak lapangan kehidupan lain yang pantas sebagai mata pencaharian. Misalnya, kontrak rekaman kaset, percetakan kalender, buku-buku, serta beberapa badan usaha.