REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelumnya telah dikisahkan bagaimana pertemuan Zainuddin MZ dengan Siti Khalilah, yang lalu menjadi istrinya. Hingga tahun 1980, pasangan itu telah dikaruniai tiga orang putra.
Mereka adalah Fikri Haykal, Muhammad Luthfi, dan Muhammad Fahmi. Atas kehendak Allah SWT, anak bungsu meninggal dunia saat masih berusia tiga tahun. Seiring waktu, Zainuddin dan istri diberi momongan lagi, yakni Ahmad Syauqi dan Muhammad Zaki.
Perjalanan Zainuddin menimba ilmu di kampus tidak begitu mudah. Lagipula, sejak sebelum menikah, dia agak “terpaksa” memasuki jurusan tempatnya kuliah kini.
Sebelumnya, menjelang lulus Aliyah (setingkat SMA), cita-citanya adalah menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar (Mesir). Keinginan itu terkendala biaya yang cukup tinggi. Asa untuk ke sana pun pupus. Sekarang, kuliahnya di IAIN Syarif Hidayatullah kandas di tengah jalan, padahal saat itu dia sedang menulis skripsi. Bagaimanapun, keadaan itu ternyata menjadi awal dari sesuatu yang baik.
Menggeluti Peran Mubaligh
Bakat penceramah sudah tampak pada diri Zainuddin sejak belia. Di MTs Darul Ma’arif, dia mulai serius mempelajari kiat-kiat berpidato, terutama melalui forum Ta’limul Muhadharah yang diadakan sekolah itu.
Pelatihan tersebut memang dihelat untuk mempersiapkan para santri agar tampil prima di atas mimbar. Setidak-tidaknya, mereka mesti siap ketika kelak menjadi khatib shalat Jumat. Zainuddin begitu antusias mengikuti pelajaran pidato.
Kepiawaiannya dalam bidang pidato terasah, antara lain, berkat kecintaannya terhadap sastra. Karena itu, dia fasih menyelipkan cerita-cerita jenaka. Tujuannya pertama-tama menarik perhatian pendengar, untuk kemudian menyampaikan hikmah yang tersurat dan tersirat. Dengan begitu, suasana dapat cair dan mengesankan. Penceramah pun tidak mudah canggung berdiri di hadapan banyak orang.
Guru pertama yang membimbing Zainuddin dalam seni retorika adalah KH Syukron Ma’mun. Masyarakat Jakarta mengenalnya sebagai pengasuh Pesantren Darul Rahman.
Bagi Zainuddin, gaya tutur sang kiai begitu bernas dalam menyampaikan materi, sehingga memikat atensi hadirin. Selain berguru secara langsung, Zainuddin juga suka belajar secara autodidak. Misalnya, tentang cara berbahasa dan gaya pidato tokoh-tokoh nasional. Sebut saja, Buya Hamka (saat itu ketua umum Majelis Ulama Indonesia), KH Idham Chalid, dan Presiden Sukarno.
Dari Buya Hamka, Zainuddin memahami betapa pentingnya menyampaikan sesuatu yang selaras hati nurani sendiri. Adapun dari Bung Karno, dia mengagumi kelihaiannya membangkitkan emosi positif khalayak pendengar. Dia juga menyadari, betapa pentingnya logika dalam beretorika. Hal itulah yang digalinya dari Kiai Idham Chalid, seorang kiai kharismatik dari lingkungan Nahdliyin.
Di luar madrasah, Zainuddin mengembangkan kemampuan ceramah dengan mengikuti kursus Youth Islamic Study Club (YISC) di Masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Pernah pula dia menjalani pelatihan mubaligh muda di Cisarua, Bogor, yang dihelat Misi Islam Indonesia.
Guru-gurunya semakin beragam. Beberapa di antara mereka adalah KH Naim, KH Ishak Darwis Jambek, Muhsin Musad, Bayumin, dan M Yusuf. Sementara itu, lingkaran pergaulannya juga semakin luas. Salah seorang sahabatnya pada masa ini adalah Subchan ZE, tokoh muda Nahdlatul Ulama.
Pada 1973, Zainuddin dan kawan-kawan mendirikan Yayasan Nurul Falah yang konsen pada pendidikan Islam. Beberapa tahun kemudian, namanya semakin berkibar sebagai mubaligh di area Jakarta dan sekitarnya.
Banyak panitia acara-acara keagamaan Islam mengundangnya untuk berceramah. Masa pemilihan umum (pemilu) 1977 kian melejitkan pamornya di tengah umat Islam di Tanah Air.