REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Muid Badrun
Akhir-akhir ini, kita menyaksikan betapa hiruk pikuk perdebatan menjelang Pemilu 2019 makin tajam. Satu sama lain seperti musuh yang membela pilihannya masing-masing. Padahal, mereka sama-sama beragama Islam. Mereka juga sama-sama beriman kepada Allah. Samasama menjalankan shalat. Serta sama-sama tahu bahwa dusta itu dosa dan mengerti bahwa bermusuhan itu dilarang.
Dalam Alquran, Allah berfirman: Sesungguhnya, orangorang beriman itu bersaudara. Maka, perbaikilah (damaikanlah) hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah hanya kepada Allah supaya engkau mendapat rahmat" (QS al-Hujurat: 10). Dari sini saja, kita sudah melupakan jati diri kita sebagai mukmin. Benar memang, Muslim itu tidak selalu mukmin. Namun, mukmin sudah semestinya Muslim.
Keduanya punya gradasi dan determinasi yang berbeda. Lalu mengapa sesama Muslim kita sering bermusuhan di luar nalar akal sehat (kewajaran)? Kita membenci dia karena berbeda pilihan. Kita memusuhi dia karena berbeda pandangan. Bahkan, kita membunuh dia karena berbeda keyakinan. Dengan cara berkata dan melakukan apa saja hingga melampaui batas.
Satu sama lain tak ada lagi senyum persaudaraan antar-Muslim. Hal yang dikedepankan hanya bagaimana menang dalam membela kepentingannya masingmasing. Jika pun muncul senyuman setelah perdebatan, itu hanya untuk memoles tampilan luarnya saja. Tak masuk ke ruang hatinya, ke jiwanya. Sehingga, yang tampak seperti senyum kepalsuan, senyum kepura-puraan.
Agar dapat tepukan meriah dari penonton setelah menikmati sandiwara pertunjukan. Kebohongan sudah jadi kebiasaan. Diproduksi dalam industri kemunafikan. Astaghfirullah. Padahal, jelas pesan Nabi: Senyuman kepada saudaramu itu sedekah (HR Tarmizi dan Ibnu Hibban). Maknanya, senyum ketulusan, senyum apa adanya, senyum akal sehat.
Bukan senyum kemunafikan, senyum kepura-puraan yang mengakibatkan kita sebagai Muslim kehilangan aura kedamaian antarsesama. Padahal, hakikat Muslim itu orang yang terus berusaha menjaga perdamaian (keselamatan). Jika jauh dari semangat itu kemusliman kita dipertanyakan. Apakah ini fakta yang terjadi di sekitar kita? Naudzubillah.
Singapura negeri yang penduduk Muslimnya minoritas saja, melalui Perdana Menteri Lee Kuan Yew pernah berkampanye meminta rakyatnya tersenyum kepada setiap wisatawan asing yang berkunjung. Jadi, tersenyum itu juga bisa menjadi strategi politik kenegaraan. Bahkan, secara ekonomi mampu mendatangkan banyak wisatawan.
Nah, di sinilah saat ini kita kehilangan budaya tersenyum yang sebenarnya menjadi ciri khas rakyat Indonesia. Lagi-lagi karena membela kepentingan sesaat dan melupakan kepentingan jangka panjang, parsaudaraan antarsesama Muslim.
Karena itulah, semua muslim-ah (mukmin-ah) harus terus menebar senyum ketulusan. Bukan senyum kepurapuraan. Yaitu diberikan karena panggilan bahwa kita adalah bersaudara. Kita itu satu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa, yaitu Indonesia. Hilangkan ujaran kebencian, tanam benih kasih sayang dan kelembutan. Agar bangsa ini tidak berantakan pada kemudian hari.
Kita harusnya malu kepada para pendiri bangsa. Mereka berjuang dengan jiwa dan raga, tapi kita menikmatinya dengan mengedepankan kebencian semata. Negeri sebesar Indonesia hanya akan tetap berdiri kokoh dengan fondasi persatuan dan persaudaraan antarsesama.
Nah, fondasi kokoh itu hanya bisa terwujud erat satu sama lain ketika ada air berupa senyum ketulusan bukan kepalsuan. Batu dan pasir tak akan bisa menyatu memperkuat fondasi tanpa ada airnya (senyum ketulusan). Bukankah, kita ingin negeri ini tetap bersatu meski kita berbeda pilihan dalam pemilu?