Rabu 06 Feb 2019 12:44 WIB

Larangan Berbuat Zalim

Zalim tak hanya melukai syariat, namun juga sesama.

Piramida Giza di Mesir peninggalan Firaun yang binasa akibat kesombongannya mengaku tuhan
Foto: AP
Piramida Giza di Mesir peninggalan Firaun yang binasa akibat kesombongannya mengaku tuhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nama lelaki ini Ibnu Lutbiyyah. Ia datang dari suku al-Azdi di Madinah. Perawakannya menyenangkan. Tingkah lakunya lembut. Rasulullah SAW pun memberikan tugas yang tidak ringan kepadanya. Ia ditunjuk sebagai petugas pengumpul zakat kaum Muslimin. 

Ibnu Lutbiyyah adalah orang yang tekun dalam pekerjaannya. Banyak kaum Muslimin yang senang dengan pekerjaannya. Lantas tak hanya zakat yang mereka titipkan, sejumput hadiah mereka berikan kepada sang petugas. Hadiah sebagai bentuk rasa terima kasih.

Lantas Ibnu Lutbiyyah menemui baginda Nabi Muhammad SAW. Ia datang membawa harta zakat. "Ya Rasulullah, ini untukmu (harta dari zakat) dan yang ini diberikan untukku." Raut Rasulullah SAW menunjukkan Beliau SAW tidak suka. 

Demi mendengar perkataan petugas zakatnya, Rasulullah SAW lantas naik mimbar. Setelah memanjatkan pujian kepada Allah SWT, Beliau SAW bersabda, "Aku telah menugaskan seseorang di antara kalian untuk suatu tugas yang diberikan Allah kepadaku. Lalu dia melaksanakannya dan berkata, "Ini untukmu dan ini  hadiah untukku." Mengapa dia tidak duduk saja di rumah dan menunggu hadiah itu datang? Demi Allah, tidaklah seorang di antara kalian mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya melainkan dia akan menghadap Allah pada hari kiamat dengan memikul sesuatu itu..." (Muttafaq 'Alaih).

Nabi SAW sangat tegas dalam sabdanya. Bahkan, di akhir sabda, Beliau SAW mengulang tiga kali, "Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan." Kalimat yang diulang tentu bukanlah perkataan yang sembarangan. Tentu semua ucapan Nabi adalah mulia. Namun, dengan adanya penegasan, kita patut menaruh perhatian lebih.

Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memasukkan hadis di atas dalam bab larangan berbuat zalim. Amanah memang berat untuk dilaksanakan. Ia adalah tanggungan yang tak sanggup dipikul langit, tak kuat diemban gunung. Manusia, dengan segala keringkihan sifatnya, lantas berani mengambil tanggung jawab besar itu.

Tatkala amanah sudah di tangan, godaan untuk berlebih-lebihan lantas muncul. Amanah harta yang dititipkan kadang memunculkan perasaan ingin menguasai yang lebih banyak lagi. Amanah takhta yang diembankan tak jarang membuat sang empunya terlena. Beberapa jatuh dalam kepemimpinan nan menakutkan bak diktator. Semua ragam sifat buruk tadi bisa dirangkum dalam kata zalim.

Sungguh zalim adalah perbuatan yang amat berat konsekuensinya. Ia tak hanya berdimensi ukhrawi sebagai sebuah maksiat kepada Allah, namun juga amat menyakiti manusia. Perlu ikhtiar ganda guna membersihkan diri dari noda zalim. Memohon ampun kepada Allah dan betobat, lantas meminta orang-orang yang pernah dizalimi berbaik hati memberikan keikhlasannya. Keduanya perlu usaha yang sungguh-sungguh. Bukan aksi pencitraan demi merencanakan kezaliman berikutnya.

Hati-hatilah dengan orang yang terzalimi. Periksa setiap ucapan dan tindakan kita. Begitu mudahnya mengucapkan kata-kata kotor yang ditujukan ke orang, bekasnya akan lama terasa. Begitu juga menghadapi orang  yang melanggar aturan. Rasulullah SAW sudah memberi rambu. Terhadap orang yang berbuat kerusakan saja kita dilarang berbuat zalim. Karena, nanti tak akan ada penghalang dalam doa orang-orang yang teraniaya.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement