Jumat 18 Jan 2019 10:12 WIB

Apa itu Ihtikar?

Banyak hadis Rasulullah SAW tidak membenarkan perbuatan ihtikar

Penimbunan sembako merupakan bentuk ihtikar.
Foto: Antara/Nyoman Budhiana
Penimbunan sembako merupakan bentuk ihtikar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ihtikar berasal dari kata hakara yang arti az-zulm (aniaya) dan isa' al-mu'asyarah (merusak pergaulan). Secara istilah berarti menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga.

Menurut Imam Asy-Syaukani (wafat 1834) ahli hadis dan usul fikih, ihtikar adalah penimbunan barang dagangan dari peredarannya. Imam al-Ghazali mengartikan sebagai penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harganya melonjak.

Adapun menurut ulama mazhab Maliki, ihtikar adalah menyimpan barang oleh produsen, baik berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang dapat merusak pasar.

Semua pendapat tersebut secara esensi mempunyai pengertian yang sama, yaitu menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak, namun dari jenis barang yang disimpan atau ditimbun terjadi perbedaan.

Imam asy Syaukani dan mazhab Maliki tak merinci barang apa saja yang disimpan tersebut. Berbeda dengan pendapat keduanya, Imam al-Ghazali mengkhususkan ihtikar kepada jenis makanan.

Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikar yang dikemukakan oleh para ulama dan memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya, Fathi ad-Duraini seorang Guru Besar bidang fikih dan usul fikih di Fakultas Syariah Universitas Damascus, memberikan suatu pengertian.

Menurutnya, ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta enggan untuk menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain, sehingga harga pasar melonjak secara drastis karena persediaan terbatas atau stok hilang sama sekali dari pasar, sementara kebutuhan masyarakat negara atau hewan amat mendesak untuk mendapatkan barang, manfaat atau jasa tersebut.

Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para ahli fikih menghukumkan ihtikar sebagai perbuatan terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan Alquran yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya kegiatan ihtikar, diharamkan oleh agama (QS Al Baqarah [2]: 279; Al Maidah [5]: 2 dan 6; dan Al Hajj [22]: 78).

Di samping itu banyak hadis Rasulullah SAW tidak membenarkan perbuatan ihtikar, misalnya, ''Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.'' (HR at-Tabrani dari Ma'qil bin Yasar).

Kemudian sabda Rasulullah yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, ''Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.''

Dalam riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW juga mengatakan, ''Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan denga)-nya.''

Berdasarkan Alquran dan hadis di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang atau haram. meskipun demikian, terdapat sedikit perbedaan pendapat diantara mereka tentang cara menempatkan hukum tersebut, sesuai dengan sistem  pemahaman hukum yang mereka miliki.

Menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama mazhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, Zaidiyah dan Imam al-Kasani (ahli fikih mazhab Hanafi), ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat-ayat dan hadis-hadis di atas. Ulama mazhab Syafi'i berpendapat bahwa hadis di atas mengandung pengertian yang dalam.

Orang yang melakukan kesalahan al-khata' dengan sengaja berarti telah mengingkari ajaran syara' (hukum Islam) dan syariat. Kalangan mazhab Hanbali juga mengatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan yang diharamkan syara', karena mambawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara.

Apabila penimbunan suatu barang tekah terjadi di pasar, maka pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjualnya dengan harga normal pada saat itu. Bahkan menurut ulama fikih, para pedagang menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumannya, karena mereka tidak berhak mengambil untung.

Disamping bertindak tegas, pemeritah sejak semula seharusnya dapat mengantisipasi agar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditi, manfaat atau jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.

sumber : Mozaik Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement