Jumat 18 Jan 2019 06:06 WIB

Batasan Memandang

Interaksi perempuan dan laki-laki terjadi di mana saja.

Rep: Ferry Kinsihadi/ Red: Agung Sasongko
Aurat (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Aurat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Interaksi perempuan dan laki-laki terjadi di mana saja, baik di tempat kerja, di jalan, maupun tempat- tempat publik. Saat berinteraksi dan menjalin komunikasi, memungkinkan mereka saling bertatap muka dan memandang.

Lalu, bagaimana batasan memandang bagi perempuan dalam interaksi sosial ini? Apa yang dimaksud dengan menahan pandangan?

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menahan pandangan yang diperintahkan dalam surah an-Nisa ayat 30-31 kepada perempuan juga laki-laki ini bukanlah memejamkan mata atau menundukkan kepala sehingga tak dapat melihat seseorang. Hal itu tak mungkin dapat dilakukan manusia, katanya.

Arti dari menahan pandangan adalah membebaskan pandangan dari tempat-tempat fitnah yang merangsang. Dengan demikian, laki-laki diizinkan melihat perempuan dengan catatan tak melihat auratnya dan tak disertai syahwat.

 

Saat mereka melakukan hal itu, hukumnya haram. Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan. Perempuan boleh memandang laki-laki secara beradab dan menahan pandangannya, juga tak melihat aurat laki-laki yang tentu saja diharamkan. Berhubungan dengan hal ini, al-Qaradhawi melalui bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, mendukung argumentasinya dengan hadis Nabi Muhammad.

Ia mengatakan, Imam Ahmad dan imam lainnya meriwayatkan hadis dari Aisyah, yang menjelaskan bahwa Aisyah memandang pada laki-laki. Menurut Aisyah, orang-orang Habsyi pernah bermain-bermain di sebelah rumah Rasulullah saat hari raya. Ia melihat mereka dari atas pundak Rasul.

Beliau merendahkan pundaknya karena saya. Saya melihat mereka dari pundak beliau sehingga saya puas kemudian saya berpaling, ujar Aisyah. Menurut al-Qaradhawi, sebagian golongan Syafiiyah berpandangan, laki-laki tak boleh memandang perempuan dan perempuan pun tak boleh memandang laki-laki.

Pandangan mereka bersandar pada hadis riwayat Tirmidzi yang berasal dari Ummu Salamah dan Maimunah, keduanya istri Nabi Muhammad. Dalam hadis itu, Rasulullah memerintahkan Ummu Salamah dan Maimunah berhijab dari Abdullah bin Ummi Maktum. Keduanya merespons, Bukankah dia tunanetra yang tak dapat melihat kami? Rasul balik bertanya kepada mereka, Apakah kamu berdua tunanetra? Bukankah kamu berdua dapat melihat?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement