REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi bumi yang kian memprihatinkan mendorong perlunya upaya penyelamatan segera dan mendesak. Langkah itu ternyata tidak mesti ditempuh melalui terobosan besar dan bombastis, dengan program yang melangit, tapi lamban realisasi dan pencapaian. Dalam konsep Islam, alam memang dipergunakan untuk dieksplorasi untuk memenuhi hajat hidup manusia.
Tetapi, pemanfaatan itu tidak berlaku mutlak. Islam memberikan rambu-rambu agar dalam penggunaannya justru tidak malah merusak dan membahayakan kelangsungan hidup makhluk di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya." (QS Al A'raf [7] 56).
Islam mengajarkan pula pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan dengan konsep sederhana. Bentuk pecegahan itu, antara lain, bisa diwujudkan dari hal yang terkecil dan lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Perhatian inilah yang menurut Ali bin Abi Thalib ra, merupakan aksi nyata dari implementasi nilai-nilai keislaman dalam mendayagunakan manfaat alam.
Islam memberikan tuntutan simpel yang tecermin dalam dua tuntutan besar, yaitu seruan untuk mematikan lampu dan tidak meninggalkan unsur energi apa pun, seperti gas, misalnya di kala malam hari. Kedua ajaran sederhana itu terangkum apik dalam hadis Rasulullah yang bisa dipahami sekaligus sebagai adab dan etika Islami menjelang tidur. Terdapat sejumlah riwayat yang menegaskan itu, sebagiannya dinukil dalam kitab adab yang ditulis oleh Bukhari, yaitu Al Adab al-Mufrad.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah menyerukan agar lampu dipadamkan ketika beranjak tidur, wa athfi'u al mishbah. Tidak ditegaskan memang secara khusus, jenis lampu apakah yang dimaksud. Tetapi, dalam konteks kekinian, mematikan lampu bisa dimaknai dengan menonaktifkan penerangan yang mayoritas sumber dayanya berasal dari listrik.
Demikian halnya dengan tuntutan mematikan api yang tertera dalam hadis riwayat Salim dari ayahnya, yang tak lain ialah Abdullah bin Umar. Rasulullah meminta agar sumber api yang berada di dalam rumah dimatikan, la tatruku an naaro fi buyutikum hina tanaamuun. Bagi Abdullah bin Umar, ajaran yang dikemukakan Rasulullah itu sangat membekas. Ia pun tak pernah meninggalkan api dalam kondisi menyala di tempat tinggalnya ketika hendak memejamkan mata di malam hari.
Pemaknaan api dalam hadis itu cukup fleksibel dan kontekstual di era sekarang. Kesesuaian terdekat dari makna api dalam konteks saat ini ialah tidak meninggalkan saluran gas, baik yang digunakan untuk pengapian kompor gas maupun pemanas air, misalnya, dalam kondisi terbuka atau menyala saat hendak tidur.
Tindakan ini akan lumayan membantu mengurangi pemborosan energi. Terlebih bila aktivitas yang mestinya menjadi rutinitas keseharian tersebut menjadi gerakan masif, sekalipun hanya di tingkat nasional. Bahkan, selain menghemat energi, memadamkan lampu dan menutup saluran api, dapat mencegah kebakaran terjadi yang diakibatkan oleh keteledoran dan kurangnya kewaspadaan.
Selain tindakan preventif untuk menghalangi kerusakan lingkungan, Islam juga mengajarkan agar melakukan 'penyembuhan' terhadap kerusakan-kerusakan yang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem. Islam mengajarkan pula agar melakukan penghijauan, reboisasi, dan pengelolaan ulang lahan ataupun sumber daya alam yang telah terkuras. "Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya." (QS. Huud [11]: 61).