REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulama merupakan guru bangsa yang tanpa lelah membangun dan mempertahankan kedaulatan bangsa. Namun, dewasa ini budaya saling mencaci dan membenci sudah sangat memperihatinkan. Tanpa adab kesantunan, masyarakat sudah melewati batas-batas moral dan etika dengan sadar dan tidak sadar menghina para ulama.
Ironisnya, kondisi itu dipicu oleh oknum yang mengatasnamakan ulama yang melakukan dakwah yang tidak bermoral, bahkan cenderung menyerang kelompok tertentu.
“Ulama itu harus berakhlak mulia seperti Nabi karena ulama adalah pewaris para Nabi. Dengan begitu ulama tidak boleh menghina seseorang atau kelompok tertentu, tidak mengumbar ujaran kebencian, dan tidak mengedarkan fitnah atau hoaks,” ujar cendekiawan muslim Indonesia, Prof Dr Azyumardi Azra, beberapa waktu lalu.
Kalau itu dilakukan seorang ulama, Azyumardi yakin masyarakat akan sangat hormat dengan ulama tersebut. Tidak hanya hormat, masyarakat juga akan mengikuti petuah dan nilai-nilai agama yang disampaikan ulama tersebut.
Azyumardi mengaku prihatin dengan dinamika yang terjadi akhir-akhir ini. Terutama menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Menurutnya, tidak seharusnya seorang ulama terlibat kepentingan politik. Namun apa yang terjadi sekarang ini semua seperti kehilangan kontrol, bahkan seorang yang mengaku ulama melakukan ceramah dengan bahaya yang tidak elok untuk menyerang orang lain.
“Jika ada ulama yang berbuat seperti itu, dia kehilangan martabat dan kemuliaan keulamaannya sehingga menjadi su'ul ulama (ulama tercela),” kata Guru Besar Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Fakta inilah membuat ulama seakan kehilangan wibawa dimata masyarakat. Ulama yang dulu dihormati, sekarang menjadi hal biasa ulama menjadi bahan bullying dan caci maki dari masyarakat. Tidak hanya itu, banyak ulama yang dinilai belum memenuhi syarat menjadi ulama, tetapi memaksakan diri untuk tampil di atas mimbar demi untuk mencari popularitas.