Sabtu 08 Dec 2018 22:14 WIB

ICIS Ingatkan Ancaman Ideologi-Ideologi Perusak Bangsa

Bangsa Indonesia harus menjaga dasar dan filsafat negara.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Seminar Kebangsaan di Pesantren al-Hikmah, Depok, Jawa Barat, Sabtu (8/12)
Foto: Republika/Dea Alvi Soraya
Seminar Kebangsaan di Pesantren al-Hikmah, Depok, Jawa Barat, Sabtu (8/12)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK—Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok menggelar seminar kebangsaan dengan tema peran alumni Timur Tengah dalam meneguhkan Oslam berwawasan kebangsaan pada Sabtu (8/12) di Depok, Jawa Barat. Seminar ini menghadirkan tiga narasumber yang juga merupakan alumni universitas ternama di Timur Tengah. 

Wakil Direktur Eksekutif International Conference of Islamic Schoars (ICIS) Hariri Makmun menganggap, semenjak demokrasi diterapkan sebagai sistem bernegara, kondisi Indonesia mulai tidak stabil. Ditambah dengan pandangan yang menurutnya semakin liberal pascareformasi.

“Sistem yang berlaku di Indonesia banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan cenderung merusak nilai Pancasila,” kata Hariri saat menyampaikan materi tentang Kebangsaan di depan santri Pesantren Al-Hikam Depok, Sabtu (8/12). 

Dia menjelaskan, berkembangnya paham komunis juga menjadi salah satu ancaman yang terus mengintai keutuhan Pancasila. Meski kini kelompok komunis di Indonesia dianggap telah punah, namun berbeda dengan pandangan dan cara pikir yang bisa saja semakin meluas.

Selain itu, pandangan ekstremis suatu pemeluk agama, kata Hariri juga dapat menjadi alasan pemecah persatuan. Anggapan bahwa hanya agamanya yang benar, sedangkan agama lainnya salah, tentu berpotensi menimbulkan perpecahan.

“Pandangan Sekularisme juga dapat menjadi alasan pecahnya kesatuan bangsa,” tambah dia. 

Dia mengingatkan, meski merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, Indonesia bukanlah negara Islam. Walaupun dasar hukum dan ideologi Indonesia banyak yang merujuk pada falsafah Islam. 

Jika melihat kondisi bangsa saat ini, upaya pengislaman negara telah menjadi impian hampir seluruh kelompok garis keras, dan pandangan wasatiyah dianggap berpihak pada pemerintah. 

Menurut Hariri, hal inilah yang perlu dikaji lebih dalam, dan mengingat bagaimana perjuangan para pendiri bangsa. 

“Jika ideologi Indonesia berubah menjadi negara Islam tentu tidak akan jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Mesir, dimana perpecahan dan konflik terjadi di mana-mana,” kata dia. 

“Jadi yang terpenting saat Ini adalah bagaimana menjaga ideologi yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dahulu,” lanjut Hariri.

Pembina Al-Ghana Institute, Hanib Hamid bin Ja’far Al Qadri beranggapan, konflik dan keributan yang kerap terjadi di Indonesia tidak akan lepas dari pengaruh perdebatan global. Dia juga mengganggap, setiap konflik yang terjadi merupakan proses alam untuk mencapai suatu kondisi yang indah. 

“Maka dalam perspektif ini menganggap bahwa apa yang terjadi adalah sebuah ketetapan Allah SWT (sunnatullah) yang wajar saja terjadi,” kata Habib Hamid. 

Wakil Ketua Organisasi Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) Ikhwanul Kiram Mashuri mengatakan, jika berbicara mengenai kebangsaan, tentu tidak akan lepas dari sosok KH Hasyim Muzadi. 

KH Hasyim Muzadi, bagi Ikhwanul merupakan panutan dari penerapan sistem kerukunan beragama. Salah satu ilmu yang pernah disampaikan KH Hasyim adalah pandangan umat Muslim bahwa Islam adalah agama terbaik. Meski begitu, pemeluk agama lain juga berhak berpandangan bahwa agama mereka adalah agama terbaik. 

“KH Hasyim Muzadi selalu berpesan, sebagai umat muslim, pada saat berhadapan dengan pemeluk agama lain, maka kita harus menghormati pendapat mereka mengenai agama mereka,” ujar mantan pemimpin Redaksi Harian Republika itu. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement