REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak diundang-undang pada 2014 lalu, UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014 belum menemukan titik terang. Padahal, UU ini berfungsi sebagai lokomotif penggerakan dunia usaha, UKM dan industri halal.
Bahkan, memasuki tahun ke empat UU ini belum juga rampung. Alhasil sembari menunggu UU JPH maka Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) masih berperan dalam menjalankan kewenangan sertifikat halal untuk sementara waktu.
Direktur LPPOM MUI Lukman Hakim mengatakan, pihaknya akan terus menjalankan tugasnya hingga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) mulai difungsikan. “Tadi diskusi dengan para pakar hukum mengenai Pasal 65 sebagai Peraturan Pelaksana (PP) memang ada perdebatan. Jadi sementara waktu MUI akan jalan terus sertifikasi halal,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (28/11).
Hanya saja, dia berharap, apabila UU JPH telah diterbitkan maka tidak menghilangkan peran MUI sebagai lembaga sertifikasi halal. Sekaligus tetap menjaga peraturan yang sudah ada sebelumnya.
“MUI intinya saya menyampaikan kaidah memelihara apa yang sudah ada dan memilih sesuatu yang sudah baik. Jadi konsepnya harus jangan membuang yang sudah tapi memelihara yang sudah ada dan kemudian menambahkan sesuatu yang baik, jadi peraturan itu menghilangkan MUI,” ucapnya.
Di sisi lain, menurutnya, dalam konteks subtansi maka MUI tidak bisa diintervensi sertifikasi halal atau kaitannya penetapan halal. Subtansi halal meliputi auditor dan fatwa.
“Di dalam UU sebagian sudah diakomodir bahwa fatwa itu harus MUI, kehadiran BPJH dalam konteks adminitrasif dilihat dari halal. Dalam hukum Islam dengan kehadiran ini adanya UU dalam konteks subtansi halal tidak boleh diintervensi,” ungkapnya.
“Kalau PP ini terbit tujuan MUI mengawal PP itu agar subtansi halal tidak diintervensi oleh kepentingan politik atau perdagangan. Kehadiran pemerintah penting dalam konteks dokumen negara bukan subtansif tapi adminitrasif,” ucapnya.