REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG – Sebanyak 22 pemuda negara-negara ASEAN mengunjungi desa Dalung, Kuta Utara, Badung, Bali pada Jumat (2/11). Mereka merupakan peserta ASEAN Youth Interfaith Camp (AYIC) 2018 yang datang untuk belajar bagaimana toleransi berjalan di desa itu.
Para pemuda yang kebanyakan masih mahasiswa itu dikumpulkan di Gedung Serbaguna Banjar Bhineka Nusa Kauh, yang juga merupakan gedung olah raga (GOR) dengan beberapa lapangan bulutangkis. Para pemuda dari negara Asia Tenggara itu datang dan duduk di kursi plastik, layaknya acara kelurahan biasa.
"Ini memang kondisinya seperti ini, adik adik dikumpulkan semua di ruangan yang sederhana ini, tidak ada AC, ya memang sengaja dibuat seperti ini," kata tokoh masyarakat I Made Ngurah diikuti gelak tawa para pemuda tersebut.
Meski segalanya terasa sederhana, para peserta AYIC tampak bersemangat mengikuti diskusi yang dipimpin sekitar I Made Ngurah. Mereka tampak antusias mengamati arca arca di sekitar gedung hingga kekompakan para pecalang yang mengamankan acara mereka.
Acara pun berlangsung, para pemuda Asean itu mendengarkan penjelasan yang disampaikan Ngurah dan tokoh masyarakat lainnya. Ngurah menyampaikan bagaimana desa Dalung dapat hidup rukun meski terdiri dari berbagai agama dan suku masyarakatnya.
"Di sini semua agama enam-enamnya (agama) ada, bahkan yang kepercayaan juga ada, nah kita hidup bareng-bareng, kenapa bisa berdampingan, karena kita semua keluarga," ucap Ngurah.
Kebersamaan itu, kata Ngurah ditunjukkan dengan kegiatan masyarakat yang selalu dilakukan bersama, misalnya saat ada orang meninggal dari agama apapun.
Bahkan, kata dia, pecalang atau penjaga desa yang di desa-desa Bali lainnya beragama Hindu, di Dalung para pecalang memiliki agama yang berbeda.
"Pecalang saja lintas agama di sini, lintas suku, ada yang Islam ada yang Kristen, ada yang dari Flores, semuanya bareng," kata Ngurah.
Para pemuda pun diberi kesempatan untuk menanyakan untuk berbagai hal. Kesempatan itu tidak dilewatkan begitu saja oleh para pemuda dari negara Asia Tenggara itu.
Pertanyaan yang diajukan pun beragam, mulai dari pertanyaan seputar dekorasi di Bali hingga bagaimana kehidupan bermasyarakat di desa Dalung.
"Mengapa arca atau patung harus dipakaikan kain (sarung) kotak kotak," tanya seorang pemudi dari Brunei Darussalam. Semua pertanyaan pun dijawab dengan sabar oleh Ngurah dan tokoh lainnya hingga usai.
Direktur Kerjasama ASEAN di Bidang Sosial Kultural Riaz JP Saehi mengatakan, dipilihnya desa Dalung karena desa kecil tersebut dapat merepresentasikan pesan toleransi kehidupan beragama.
"Jadi di Dalung mereka bisa lihat dan rasakan, bahkan diskusi sendiri dari tokoh masyarakatnya, seperti apasih toleransi, jadi pesannya tersampaikan," kata dia, Jumat (2/11).
Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri Kemenko PMK Abdi Rizal, menuturkan, kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian AYIC 2018. ASEAN Culture of Prevention merupakan budaya di sektor hulu yang hendak diperkuat di kawasan ASEAN untuk mencegah terjadinya kekerasan akibat konflik beragama.
"Mereka itu kan future faith leader, atau diharapkan jadi pemimpin di bidang keagamaan di negara masing-masing, diharapkan mereka bisa mrnyerap danxmenanamkan nilai toleransi antar beragama di kehidupan negara ASEAN," kata Abdi Rizal.
AYIC 2018 merupakan kegiatan yang diprakarsai Kemenko PMK, Kemenlu, dan Kemenag sebagai bentuk implementasi ASEAN Declaration on Culture of Prevention yang telah diresmikan oleh para pemimpin negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-31 di Manila pada 2017.
Rangkaian acara ini diawali dengan pertemuan antara para peserta AYIC dan Wakil Presiden RI pada 29 Oktober 2018. AYIC 2018 akan diakhiri dengan upacara penutupan pada 3 November 2018 di Puri den Bencingah, Bali.