REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap ranah kehidupan tak terlepas dari nilai. Demikian pula dengan pengembangan ilmu kedokteran. Nilai membalut praktik kedokteran dan mengikat para dokter dalam menjalankan kewajiban profesinya. Para dokter di dunia Islam, khususnya pada masa Turki Usmani, telah meletakkan nilai sebagai dasar etika kedokteran.
Etika yang dikembangkan didasarkan atas kepercayaan masyarakat kepada para dokter bahwa mereka merupakan orang-orang yang memiliki kebajikan. Dan, para dokter pada masa Turki Usmani telah mengembangkan etika tentang apa yang harus dilakukan atau yang tak seharusnya dilakukan sebagai dokter.
Paling tidak, ada empat dasar etika yang menjadi panduan para dokter dalam menjalankan pekerjaannya. Keempat hal itu adalah kerendahan hati, kapasitas, kesabaran, dan harapan. Nilai-nilai tersebut dipegang teguh oleh para dokter saat menjalankan tugasnya ketika mengobati dan menjalin hubungan dengan pasiennya.
Kerendahan hati
Seorang dokter tentu memiliki wewenang ilmiah dalam bidangnya dan perlu berlaku efektif. Ia juga mempunyai alat dan perangkat yang sarat manfaat atau bahkan berbahaya, seperti obat-obatan dan peralatan bedah. Mereka seakan dikaruniai kekuatan Tuhan dalam menjalankan tugasnya.
Para dokter pada masa kekhalifahan Turki Usmani didorong untuk memandang dirinya sebagai khalifah Allah SWT dalam melakukan penyembuhan terhadap pasiennya. Bukan sebaliknya, menganggap dirinya sebagai seorang penyembuh yang hebat hingga menimbulkan rasa sombong dalam diri.
Dengan demikian, seorang dokter harus paham bahwa dirinya hanya sebagai sarana dalam proses penyembuhan seorang pasien, sedangkan penyembuh sebenarnya adalah Allah SWT, Sang Pencipta. Tanpa kemurahan dari Allah SWT, seorang pasien tak akan mungkin sembuh dari segala penyakitnya.
Banyak penulis kedokteran era Turki Usmani memberi saran agar dokter tidak berbangga diri, apalagi sombong dengan kepandaiannya mengobati penyakit. Sebab, hal itu merupakan perbuatan tercela. Mereka juga melihat dokter sebagai manusia biasa layaknya orang lain, mereka bisa mengalami sakit ataupun kematian.
Namun, mereka merupakan para khalifah Allah SWT di muka bumi yang mengemban tugas mulia untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit. Dalam sejumlah literatur etika kedokteran, disebutkan bahwa seorang dokter yang berhasil menyembuhkan pasiennya tidak boleh berbangga diri dan merasa bahwa dirinyalah penentu kesembuhan pasien.
Soal kerendahan hati ini, banyak diungkap dalam sejumlah literatur medis. Nidai, seorang dokter pada abad ke-16, menyampaikan sebuah nasihat. ''Jangan katakan saya telah menyembuhkan seorang pasien. Asumsi ini merupakan kebohongan nyata. Sakit dan kesembuhan berasal dari Sang Pencipta. Ia yang memiliki kehendak."
Emir Celebi, dokter lainnya pada abad yang sama, menyatakan, seorang dokter haruslah rendah hati. Tak seharusnya menghubungkan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya dengan kesembuhan pasien. Seorang dokter harus yakin akan kehendak Tuhan yang selalu memuluskan apa yang ia lakukan.
Makna kerendahan hati ini juga mencerminkan aspek lainnya dari sifat seorang dokter. Ini terkait dengan upaya terus-menerus yang dilakukan seorang dokter untuk mengembangkan kemampuannya dalam ilmu kedokteran. Artinya, para dokter perlu terus mendorong dirinya untuk selalu mengembangkan diri.
Hal ini terlihat dari sosok Abbas Vesim, seorang dokter yang hidup pada abad ke-18. Cerminan kerendahan hati pada diri Vesim adalah menjalin konsultasi dengan rekan dokter lainnya, menggali ilmu baru, dan mengembangkannya dalam praktik pengobatan terhadap pasien.
Vesim pun mengatakan, dokter harusnya bepergian dari satu negara ke negara lain dan berinteraksi dengan mereka yang memiliki pengetahuan memadai. Hal tersebut dilakukan sebagai rujukan dalam berdiskusi dan mendapatkan informasi terkini mengenai obat-obatan dan komposisinya. Pun, memahami benar efeknya terhadap tubuh.
Nasihat bijak juga terucap dari bibir Vesim. Ia mengatakan, ''Seorang dokter tak seharusnya berbangga diri atas kemampuan yang dimiliknya.''